Bertanding dalam Iman yang Benar: Kita adalah Pemain Bukan Penonton

Saudara-saudari terkasih, Kalau dengar kata “bertanding”, biasanya kita langsung ingat olahraga. Orang Indonesia ini kan jago nonton bola. Kalau timnas main, suaranya bisa mengalahkan toa tujuh belasan. Tapi kalau main bola beneran? Baru lari dua menit sudah ngos-ngosan. Nah, jangan-jangan iman kita juga begitu: jago sorak-sorai, semangat teriak “Amin! Haleluya!”, rajin update status “Blessed Sunday” setelah misa, tapi giliran turun ke lapangan hidup seharihari, ngos-ngosan bahkan malas. Paulus dalam bacaan kedua jelas berkata: “Bertandinglah dalam iman yang benar!” Artinya, iman itu bukan sekadar tanda di KTP, bukan tempelan stiker salib di mobil, apalagi sekadar dekorasi rumah. Iman itu keringetan, iman itu capek, iman itu kadang jatuh bangun. Tetapi justru di situ iman terbukti asli atau KW. 

Masalahnya, kita ini sering jadi “atlet (olahraga) tunda.” Semua hal baik ditunda-tunda. Mau doa, nanti kalau hati sudah tenang. Padahal kalau gosip, tanpa ditunda. Mau berbagi, nanti kalau sudah kaya. Tapi kalau beli iPhone terbaru, bisa langsung pinjam dana online. Kitab Amsal tadi sudah nyelekit: jangan tidur-tidur, jangan tunda-tunda. Tapi umat Katolik jago banget cari alasan. Misa pagi ditinggalkan karena masih ngantuk, misa sore dihindari karena capek, misa siang ditolak karena panas. Lah, kalau semua dimaklumi, kapan Tuhan mau dipuji? Hehehe…

Injil hari ini lebih pedas lagi. Orang kaya yang tiap hari pesta, pakai baju branded, mungkin kalau zaman sekarang full Gucci, jam tangan Rolex, mobil Alphard. Di depan pintu rumahnya ada Lazarus, miskin, sakit, penuh borok, hanya berharap remah makanan. Orang kaya itu tidak pernah tendang Lazarus, tidak pernah maki, bahkan tidak pernah bilang “enyahlah kau.” Dia cuma cuek. Dan cuek itu yang menghantarnya ke neraka. Jadi jelas, dosa terbesar kita sering bukan karena kita jahat luar biasa, tapi karena kita cuek luar biasa. Kita lihat orang susah, kita pura-pura main HP. Kita lihat sampah berserakan, kita pura-pura sibuk telepon. Kita lihat bumi makin rusak, kita pura-pura tidak tahu. Padahal jurang neraka itu, kata Yesus, bukan tiba-tiba muncul setelah mati, tapi sebenarnya kita sendiri yang gali waktu hidup dengan sikap cuek, nyaman, dan pura-pura tidak lihat.

Lazarus bukan hanya orang miskin, Saudara-saudari. Bumi kita ini juga “Lazarus”. Alam sudah penuh borok, penuh luka. Sungai hitam, laut penuh plastik, udara makin sesak, tanah longsor dan banjir semakin sering. Tapi kita masih pesta gaya hidup. Doa kita sering bunyinya, “Tuhan, berkati bumi ini.” Tapi habis doa, kita minum pakai botol plastik sekali pakai, kita buang sampah sembarangan. Jadi doa kita itu sering jadi doa plastik juga. Ironis kan?

Paulus tadi memberi resep: jauhilah kerakusan, kejar keadilan, kasih, kelembutan hati. Tapi kenyataannya? Kita lebih sering kejar diskon. Kalau flash sale, jari lebih cepat daripada doa Bapa Kami. Kalau konser, rela antre dari subuh. Kalau misa, baru jalan dari rumah pas lonceng sudah berbunyi. Doa rosario lima belas menit terasa berat, tapi nonton drakor lima belas episode semalam masih sanggup. Kita ini sering serius untuk hal sepele, tapi sepele untuk hal serius.

Pertandingan iman itu nyata dan sederhana. Ketika kita lihat sampah plastik, mau pura-pura tidak lihat atau pungut, itu pertandingan. Ketika lihat tetangga susah, mau pura-pura sibuk atau turun tangan, itu pertandingan.  Saat kolekte lewat, mau kasih receh yang tersisa atau memberi dengan rela, itu pertandingan. Jangan bilang kita tidak bisa apa-apa. Orang kaya di Injil sebenarnya cuma perlu kasih remah makanan, remah loh, bukan roti utuh. Tapi dia tidak mau. Jadi jangan anggap remeh kebaikan kecil. Sedikit demi sedikit, remah demi remah, dunia bisa berubah.

Mari kita jujur: banyak dari kita imannya “Blessed Sunday edition.” Habis misa langsung selfie di depan altar, tulis caption “Feeling blessed”, lalu begitu keluar parkiran marah-marah karena diserobot motor. Ada juga yang doa khusyuk: “Bapa Kami yang ada di surga…” tapi habis misa ribut rebutan nasi kotak di belakang gereja. Ada yang rajin ikut novena, tapi di rumah masih rajin ngomel sama istri (suami), malas buang sampah pada tempatnya. Nah, iman model begini jelas bukan pertandingan iman yang benar, tapi pertandingan gaya hidup rohani pura-pura.

Kabar baiknya, kita tidak sendirian di lapangan. Yesus sudah turun main duluan. Dia bertanding sampai akhir, sampai babak terakhir, sampai mati di kayu salib. Dan Dia kasih kita Roh Kudus sebagai pelatih, sebagai energi, sebagai “suporter setia” yang tidak pernah berhenti teriak semangat. Jadi kalau kita jatuh, jangan keluar lapangan. Kalau kita capek, jangan mundur. Kalau hari ini kalah, besok masih bisa main lagi. 

Saudara-saudari, marilah kita berhenti jadi penonton iman. Jangan hanya sorak-sorai di tribun, tapi mari sungguhsungguh turun ke lapangan. Jangan cuma pamer “Blessed Sunday” di media sosial, tapi mari buktikan lewat tindakan yang peduli pada sesama dan peduli pada bumi. Jangan cuma pandai berkata “Tuhan memberkati,” tapi mari belajar jadi berkat sungguhan. Dan semoga nanti di akhir hidup, kita bisa bilang dengan lega seperti Paulus: “Aku sudah bertanding dengan baik, aku sudah mencapai garis akhir, aku sudah memelihara iman.”

Dan mudah-mudahan Tuhan sambut kita bukan sebagai penonton malas, bukan sebagai jemaat selfie, bukan sebagai umat yang hanya pinter cari alasan, tetapi sebagai atlet iman yang habis-habisan main sampai peluit terakhir berbunyi. Amin

Contributor: Ch Kristiono Puspo SJ

 


Post Terkait

Comments