KEMAJUAN TEKNOLOGI ADALAH SEBUAH KENISCAYAAN DALAM PERADABAN…

Akhir-akhir ini sedang ramai diperbincangkan di dunia medis tentang “DIGITAL HEALTH” atau kesehatan digital. “Kesehatan digital” merujuk pada penggunaan teknologi digital — termasuk aplikasi mobile, kecerdasan buatan (AI), big data, telemedis, perangkat medis terhubung (IoT), catatan medis elektronik (Electronic Health Records/EHR), wearable devices, dan sebagainya — untuk mendukung, memperbaiki atau mengoptimalkan pelayanan kesehatan: pencegahan, diagnosis, pengobatan, pemantauan, rehabilitasi.

Indonesia pun tengah mengalami perkembangan pesat dalam bidang kesehatan digital. Program seperti SATUSEHAT dari Kementerian Kesehatan, penggunaan rekam medis elektronik, layanan telemedis (Halodoc, Alodokter, KlikDokter, dan lainlain), hingga pemanfaatan AI dalam radiologi, farmasi, serta sistem prediksi penyakit mulai diterapkan. Bagi negara kepulauan dengan tantangan geografis dan kesenjangan infrastruktur kesehatan, teknologi ini berpotensi menjadi solusi penting agar masyarakat lebih mudah mengakses layanan medis. Teknologi ini menawarkan banyak potensi besar seperti efisiensi, diagnosa yang lebih cepat atau akurat, pemantauan penyakit secara realtime, serta peluang untuk personalisasi pengobatan.

Tapi di sisi lain juga timbul banyak pertanyaan etis: privasi, diskriminasi, kesenjangan akses, risiko dehumanisasi, tanggung jawab jika terjadi kesalahan, dan sebagainya. Sebagai umat Katolik, sangat perlu dan pentinglah, terutama bagi mereka yang bergerak di bidang kesedehatan, untuk mengetahui pandangan dan ajaran Gereja Katolik berkenaan dengan perkembangan ini.

Kemajuan teknologi adalah suatu keniscayaan dalam peradaban manusia. Namun demikian, sebagai manusia yang diciptakan secitra dengan Allah, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian dan permenungan bersama.

Yang pertama, ada kekuatiran bahwa pelayanan kesehatan menjadi terlalu mekanis apabila interaksi manusia dikurangi atau digantikan oleh mesin/ algoritma. pasien bukanlah “objek data” atau sekadar nomor rekam medis. Martabat manusia harus selalu diutamakan. Telemedis, rekam medis elektronik, maupun AI tidak boleh menggantikan relasi personal antara tenaga kesehatan dan pasien. Gereja melihat teknologi seperti AI bisa sangat membantu dalam kesehatan, misalnya diagnosa, pemantauan, memprediksi epidemi, dan lain-lain. Tetapi Gereja menekankan bahwa teknologi tidak boleh menggantikan relasi manusia antara pasien dan tenaga kesehatan. Keputusan penting harus tetap berada di tangan manusia, terutama yang berkaitan dengan tanggung jawab moral dan etika.

Yang kedua, Teknologi canggih sering mahal, memerlukan infrastruktur (internet, listrik), tenaga terampil, dan sarana pendukung lainnya. Bila tidak diimbangi dengan usaha inklusif, bisa memperlebar jurang kesehatan. Gereja mengajak agar kebijakan dan praktik memperhatikan mereka yang paling miskin dan terpinggirkan. Gereja menyadari bahwa teknologi kesehatan bisa memperlebar jurang antara yang punya akses dan yang tidak. Bila hanya orang kaya atau di kawasan urban yang menerima manfaat teknologi canggih, sementara orang miskin atau terpencil tertinggal, itu bertentangan dengan prinsip common good dan preferential option for the poor. DiIndonesia, masih ada kesenjangan digital antara kota dan desa. Jika layanan telemedis hanya efektif bagi mereka yang memiliki internet cepat, sedangkan warga pedalaman atau pulau terpencil tertinggal, maka itu melanggar prinsip keadilan sosial.

Yang ketiga, Aplikasi kesehatan digital di Indonesia sering mengumpulkan data sensitif (riwayat penyakit, genetika, bahkan lokasi). Gereja menekankan perlindungan hak atas privasi dan informed consent. Data kesehatan tidak boleh dipakai untuk komersialisasi tanpa persetujuan pasien. Banyak rumah sakit dan lembaga kesehatan menggunakan EHR dan berbagi data untuk penelitian atau pengembangan AI. Tantangannya: memastikan bahwa pasien memberi izin secara sadar (informed consent), bahwa data disimpan dengan aman, bahwa tidak disalahgunakan untuk tujuan komersial tanpa persetujuan, serta bahwa algoritma yang dikembangkan tidak mengandung bias yang memperburuk ketidakadilan. Gereja menekankan bahwa kerahasiaan pasien dan penghormatan terhadap pribadi harus diutamakan.

Layanan kesehatan digital di Indonesia banyak digerakkan sektor swasta. Gereja mengingatkan agar orientasi tidak semata profit, tetapi untuk melayani masyarakat luas. Paus Fransiskus dalam Rome Call for AI Ethics (2020) menekankan bahwa teknologi harus melayani common good. Gereja mendorong kebijakan kesehatan digital yang melibatkan masyarakat, pemerintah daerah, rumah sakit Katolik, serta tenaga medis lokal. Misalnya, puskesmas di pelosok bisa dibantu dengan teknologi telemedis, tetapi tetap harus ada tenaga kesehatan manusia yang mendampingi.

Agar masyarakat, profesional kesehatan, pembuat kebijakan dan pengembang teknologi memahami konsekuensi etis, Gereja menekankan perlunya pendidikan etika, “algor-ethics” (istilah yang digunakan untuk menyebut etika algoritma), kesadaran akan bias data, privasi, dan dampak sosial budaya dari teknologi. Gereja melihat bahwa teknologi harus melayani manusia, bukan manusia yang menjadi budak teknologi. Pendidikan membantu menjaga keseimbangan itu.

Dari transformasi digital di bidang kesehatan, Gereja Katolik melihat potensi besar, tetapi juga tanggung jawab moral besar agar teknologi itu benarbenar melayani manusia. Teknologi harus digunakan untuk manusia, bukan manusia melayani teknologi: Keputusan medis, perhatian terhadap pasien, empati, pendampingan harus tetap menjadi inti pelayanan kesehatan. Oleh sebab itu, diperlukan Regulasi dan kerangka etika yang kuat. Pemerintah, lembaga kesehatan, pengembang teknologi harus bekerja sama untuk membuat standar, regulasi, dan pedoman agar teknologi digunakan secara adil, aman, bertanggung jawab. Dengan demikian diharapkan usaha ini dapat memastikan teknologi dapat diakses oleh semua orang, khususnya yang kurang mampu atau tinggal di wilayah terpencil. Selain regulasi dan pedoman, yang tidak kalah penting adalah kesadaran dari para pelaku di bidang ini. Profesi kesehatan, teknologi, akademisi, pembuat kebijakan harus dibekali pemahaman etika digital — bagaimana mengenali bias, risiko privasi, pentingnya persetujuan, dampak sosial budaya — agar teknologi dikembangkan dan diterapkan dengan bijak. Dan untuk mencapai itu semua diperlukan kerja sama yang inklusif dari semua sector. Gereja mendorong dialog antara ilmuwan, insinyur, tenaga kesehatan, pembuat kebijakan, masyarakat umum agar semua aspek (teknis, etis, sosial) diperhitungkan.

Sumber :

1. Education in Algor-ethics essential to use of AI in medicine, Benedict Mayaki, Vatican news, 2025; https: //www.vaticannews.va/en/vatican -city/news/2020-02/vatican-ai -workshop-ethics-medicine-mariacarrozza.html?utm_source=chat gpt.com

2. Antiqua et Nova (Vatican, Januari 2025): Nota doktrinal tentang hubungan antara kecerdasan buatan dan kecerdasan manusia, termasuk penggunaan AI di kesehatan., the Dicastery for the Doctrine of the Faith and the Dicastery for Culture and Education, Januari 2025

3. Dignitas Infinita (“Infinite Dignity”), deklarasi Vatikan tentang martabat manusia dan tantangan zaman sekarang — termasuk ranah digital. Departemen Takhta Suci untuk Doktrin Iman, 2025

4. Human Dignity and Artificial Intelligence in Healthcare: A Basis for a Catholic Ethics on AI, Ivan Efreaim A Gozum & Chastene Christopher D Flake, PubMed, December 2024 F.B.

Kontributor: Sri Pamungkas Tim


Post Terkait

Comments