Mulai Dari Kita...

Sebuah survei terbaru mengungkapkan bahwa satu dari enam perusahaan ragu untuk menerima Generasi Z alias Gen Z sebagai karyawan. Perusahaan tersebut mengaku ragu untuk mempekerjakan Gen Z berusia 20 tahunan akibat dinilai lebih malas jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, tidak profesional, dan kemampuan komunikasi yang buruk. Para lulusan muda (Fresh graduate) ini sering kali tidak siap menghadapi lingkungan kurang terstruktur, dinamika budaya tempat kerja, dan ekspektasi pekerjaan yang mandiri. Mereka memiliki pengetahuan teoritis dari perguruan tinggi, namun mereka seringkali kurang memiliki pengalaman dunia nyata dan keterampilan nonteknis sehingga menciptakan "gesekan" antara karyawan muda dan pekerja berpengalaman. (Rindi Salsabilla, “Banyak Perusahaan Ogah Rekrut Gen Z Jadi Karyawan, Apa Alasannya?”, CNBC Indonesia.com, 22 October 2024).

Paragraf di atas bukan bermaksud memojokkan kelompok tertentu. Bukan pula bermaksud merendahkan atau memandang negatif Generasi Z. Paragraf di atas adalah cuplikan tulisan dari sebuah survey di Amerika pada  tahun 2024. Mengambil potongan tulisan tersebut bukan bermaksud menghakimi. Justru hasil survey tersebut dapat menjadi bahan refleksi bagi kita. Mengapa survey tersebut bisa menghasilkan hal demikian?

Anastasia Satriyo, seorang psikolog anak dan remaja membagikan dalam sebuah postingan sosial medianya
bahwa ternyata kebiasaan, karakter dan emosi anak akan dibentuk sejak anak berusia 0-7 tahun. Di rentang usia ini, anak akan merekam semua emosi, kebiasaan dan karakter dari orang tua, orang di sekitarnya dan lingkungannya dan akan diingat hingga beranjak dewasa. (Lori, “6 Kebiasaan Ini Terekam Dalam Otak Anak Sejak Usia 0-7 Tahun Lho!”, Superbookindonesia.com,2023)

Dalam tulisannya, psikolog ini menuliskan 6 kebiasaan yang terekam dalam otak anak saat usia 0 – 7 tahun.
Salah satu rekaman tersebut adalah Anak akan merekam dan mewarisi pandangan hidup orang tua dan
orang-orang dewasa sekitar. Artinya, jika orang tua memiliki pemikiran yang kolot, maka kemungkinan anak akan ikut mewarisi pemikiran yang sama. Demikian juga dengan sikap atau pandangan orang tua terhadap kerja, kemungkinan besar anak akan merekam dan mewarisi pandangan orang tua tentang makna dan nilai kerja.

Dalam Surat Apostolik Bapa Suci Paus Fransiskus pada Peringatan 150 Tahun Pemakluman Santo Yosef sebagai Pelindung Gereja Semesta “Patris Corde” tahun 2020, Paus Fransiskus pun menegaskan bahwa Yesus pun meneladan dan mewarisi Santo Yusuf, ayahnya, dalam memaknai kerja dalam kehidupan-Nya. Santo Yusuf adalah seorang tukang kayu yang bekerja dengan jujur untuk menghidupi keluarganya. Dari dia, Yesus be-
lajar tentang nilai, martabat dan kegembiraan apa artinya makan roti yang merupakan hasil usahanya sendiri. (Patris Corde, art. 6)

Dari tulisan psikolog dan surat Apostolik dari Paus Fransiskus tersebut seolah menegaskan kepada kita bahwa hasil dari survey di Amerika tahun 2024 yang disinggung di awal tulisan ini, tidak terlepas dari bagaimana generasi Z tersebut mewarisi sikap dan makna kerja dari orang tua mereka. Hal ini bukan dimaksudkan untuk mencari siapa yang salah dalam hal ini. Akan lebih bijaksana dan penting bagi kita bersama untuk melihatnya sebagai penyadaran dan pembelajaran untuk kita, terutama kita sebagai orang tua, bagaimana mewariskan memaknai dan menilai kerja dalam kehidupan kepada anak-anak kita. Pertanyaan lebih lanjut adalah Makna dan Nilai kerja seperti apa yang hendaknya kita wariskan pada generasi selanjutnya?

Gereja Katolik mengajarkan nilai dan makna Kerja dalam perspektif iman Katolik. Dalam Katekismus Gereja
Katolik diungkapkan beberapa hal yang menjadi nilai dan makna Kerja dalam ajaran Gereja Katolik yakni :

  1. Pekerjaan merupakan kerja sama dengan Allah demi penyempurnaan ciptaan yang kelihatan. (KGK 378)
  2. Pekerjaan merupakan Kurban Rohani yang dalam perayaan Ekaristi,bersama dengan persembahan tubuh Tuhan, penuh khidmat diper sembahkan kepada Bapa. (KGK 901)
  3. Pekerjaan “dengan berpeluh” (Kej3:19), adalah juga obat yang membatasi akibat-akibat buruk daridosa. (KGK 1609)
  4. Dengan memperhatikan pendidikan keluarganya dan bekerja dengan saksama, seseorang menyumbang demi kesejahteraan orang lain dan kesejahteraan masyarakat. (KGK 1914)
  5. Pekerjaan adalah satu kewajiban: “Jika seseorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (2 Tes 3:10,
    Bdk. 1 Tes 4:11). Pekerjaan dapat menjadi sarana pengudusan dan dapat meresapi kenyataan dunia-
    wi dengan semangat Kristus.
  6. Di dalam Ekaristi, kurban Kristus juga menjadi kurban anggota-anggota tubuh-Nya. Kehidupan umat ber-
    iman, pujian, kesengsaraan, doa dan karyanya dipersatukan dengan yang dimiliki Kristus dan dengan penyerahan diri-Nya secara menyeluruh, sehingga mendapat satu nilai baru. (KGK 1368)
  7. Pekerjaan memang untuk manusia,  dan bukan manusia untuk pekerjaan (Bdk. LE 6). Tiap orang harus
    dapat menghasilkan melalui pekerjaan itu sarana-sarana untuk memelihara diri sendiri dan keluar 
    ganya dan supaya ia dapat menyumbang bagi persekutuan manusia. (KGK 2428). 

Pekerjaan dimaksudkan Tuhan sebagai sarana menguduskan manusia. Hal ini tidak terlepas dari penciptaan manusia sebagai citra Allah sendiri. Manusia yang diciptakan menurut gambaran Allah, dilibatkan untuk meneruskan karya penciptaan-Nya, demi kesejahteraannya dan sesama nya. Pekerjaan yang dilakukan oleh manusia dengan penuh kesabaran dan kesadaran akan penyertaan Roh Kudus, dapat menjadi kurban rohani yang dipersatukan dengan Kurban Kristus dalam Ekaristi kudus sebagai kurban persembahan untuk menguduskan dirinya sendiri dan sesame. (stefanus-ingrid, "Tentang Makna Pekerjaan Manusia", katolisitas.org, 2012)

Sebagai orang Katolik adalah hal yang wajib bagi kita untuk mewariskan makna dan nilai kerja dalam perspektif
ajaran Gereja Katolik kepada generasi selanjutnya. Tentu saja pewarisan ini dilakukan dengan menghidupinya dalam kehidupan kita, dalam kerja kita. Dengan penghayatan akan makna dan nilai kerja dalam hidup kita, akan
“rekaman” yang kuat bagi anak-anak kita dan menjadi warisan bagi generasi selanjutnya.
Mulai dari kita…

Sumber :
1. Rindi Salsabilla, “Banyak Perusahaan Ogah Rekrut Gen Z Jadi Karyawan, Apa Alasannya?”, CNBC
Indonesia.com, 22 October 2024, https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20241022133643-33-582043/banyak-perusahaan-ogah-rekrut-gen-z-jadi-karyawan-apa-alasannya

2. Lori, “6 Kebiasaan Ini Terekam Dalam Otak Anak Sejak Usia 0-7  Tahun Lho!”, Superbookindonesia.
com, 2023, https://www.superbookindonesia.com/article/read/article/6+Kebiasaan+Ini+Terekam+Dalam+
Otak+Anak+Sejak+Usia+0-7+Tahun+Lho%21/id/2954.html


3. Siti Nur Aeni, "Memahami Karakteristik dan Ciri-ciri Generasi Z", Katadata.co.id, 2022, https://katadata.
co.id/berita/nasional/6226d6df12cfc/memahami-karakteristik-dan-ciri-ciri-generasi-z

4. Paus Fransiskus, “PATRIS CORDE”, 
Surat Apostolik Bapa Suci Paus Fransiskus pada Peringatan 150 Tahun Pemakluman Santo Yosef sebagai Pelindung Gereja Semesta, diterjemahkan oleh Bernadeta Harini Tri Prasasti, Seri Dokumen Gereja, 2020.

5. “Katekismus Gereja Katolik”, diterjemahkan oleh P. Herman embuiru, SVD, Nusa Indah, Ende, 2014.

6. stefanus-ingrid, "Tentang Makna Pekerjaan Manusia", katolisitas.org,2012, https://katolisitas.org/tentang-
makna-pekerjaan-manusia/

FB. Sri Pamungkas
Tim Kontributor Katekese


Post Terkait

Comments