Tradisi Gereja Membaptis Bayi

Baptis bayi dan anak merupakan tradisi Gereja sejak dahulu dan diteruskan sampai sekarang. Gereja melakukannya demi meneruskan misi Yesus Kristus kepada para rasul, yaitu menjadikan semua bangsa sebagai murid-Nya (Mat 28:18-20). Misi Gereja ini tidak hanya ditujukan kepada orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Melalui baptis, anak-anak dijadikan anak-anak Allah dan memperoleh rahmat keselamatan (KGK 1250).

Perjanjian Baru beberapa kali berbicara tentang pembaptisan seluruh “keluarga/rumah”, yakni anggota keluarga termasuk hamba-hambanya (Mrk 10:13-16; Kis 16:15, 1 Kor 1:16). Meskipun tidak memberikan pernyataan eksplisit mengenai baptisan bayi, Perjanjian Baru tidak menolaknya. Kesaksian eksplisit mengenai praktek baptisan bayi dinyatakan oleh Origenes dan Tertulianus pada abad kedua. Praktek ini merupakan hal yang lazim dan dipandang sebagai warisan tradisi para rasul (lih. Martasudjita, 2003:236).

Selain kesaksian dari Origenes dan Tertulianus, St. Siprianus, St. Irenaeus, dan St. Ambrosius memandang baptis bayi sebagai kewajiban (lih. Groenen, 1992:57). St. Siprianus mengatakan,
“Kerahiman dan rahmat Allah tidak boleh ditolak bagi siapa pun yang telah lahir” (lih. Pastoralis actio, art. 4). Mulai abad kelima praktek baptisan bayi sudah umum dan tersebar dimana-mana. Lalu, dalam Konsili Trente (1545-1563) Gereja mendukung praktek dan makna baptisan bayi secara eksplisit.

Sejak dahulu sampai sekarang, baptisan bayi memunculkan persoalan. Apakah kita tidak melanggar hak asasi manusia bila membaptiskan bayi? Bukankah lebih baik anak-anak itu dibiarkan besar dulu, lalu mereka menentukan pilihan imannya? Berikut tiga pokok pandangan Gereja dalam menjawab persoalan ini.

Pertama : Pembaptisan merupakan rahmat yang diberikan secara cuma-cuma oleh Allah kepada siapa pun, termasuk para bayi (1 Yoh 4:10,19; Tit 3:5). Melalui baptis, anak-anak memperoleh karunia penebusan dan keselamatan sebagai anak Allah serta dibebaskan dari pengaruh dosa asal (KGK 1250). Baptis bayi mengungkapkan dengan baik ketergantungan manusia dari Allah.

Kedua : Iman berhubungan dengan kebersamaan dan komunitas umat beriman. Kita senantiasa beriman dalam kebersamaan iman Gereja. Menurut St. Agustinus, anak-anak pun beriman melalui persekutuan orang-orang kudus dan orang-orang beriman. Terdorong oleh cinta pada anak-anaknya, orangtua senantiasa memberikan dan mengharapkan yang terbaik bagi mereka. Wajar bila orangtua mengharapkan baptisan bagi anak-anaknya agar mereka memperoleh keselamatan sejak lahir.

Ketiga : Dengan membaptis anak-anaknya, orangtua sungguh menghidupi panggilannya sebagaimana telah mereka nyatakan dalam janji pernikahan, yaitu mendidik anak secara Katolik. Baptis bayi adalah langkah awal dari proses pertumbuhan iman anak yang terus-menerus. Oleh karena itu, keluarga perlu membangun pembiasaan hidup rohani agar semakin menumbuhkan iman anak-anaknya. Semoga dengan membaptiskan anak-anak, kita dapat mengantar mereka untuk datang kepada Yesus Kristus (Mrk 10:13-16).

Penulis : Fr. Carolus Budhi P

Sumber:
-. E. Martasudjita, Sakramensakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 235-240;
-. C. Groenen, Teologi Sakramen Inisiasi: Baptisan- Krisma (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 56-59;
-. Kongregasi Suci untuk Ajaran Iman, Instruction on Infant Baptism Pactoralis Action, 1980; Katekismus Gereja Katolik.

Foto : Widodo Wowor


Post Terkait

Comments