Dalam perjalanan pulang mengikuti novena, muncul bisikan suara dalam hati Tere, “Bagaimana aplikasi Pentakosta buat saya?”. Ia lalu memberanikan diri berseru dalam hati, “Tuhan, kalau boleh, janganlah novena dan perayaan Pentakosta ini berlalu begitu saja. Izinkan Tere menimba semangat baru dalam hidupku bersama keluargaku”.
Sesampai di rumah, saat memasuki ruang tamu, Tere mengambil inisiatif bertanya “Kalau boleh tahu, apa makna khusus yang dialami Mas Santo dan Bapak-Ibu selama ini sebagai pesan dari peristiwa Pentakosta? Tere ingin belajar, siapa tahu ada yang kena atau pas dengan Tere”.
“Lebih baik ngobrol sambil makan saja, sudah lapar nih” kata Santo singkat. Mereka lalu duduk di sekitar meja makan. Santo membuka dengan doa kemudian memberikan kode untuk meneruskan pembicaraan. Ibu lalu spontan memulai pembicaraan. “Siapa tahu dari kedua anak kami ini, ada yang mau menjadi Petrus, Paulus, Barnabas yang baru, menjadi pemberita injil yang tidak kenal lelah pergi ke Afrika, Eropa, Amerika Latin atau pedalaman mana gitu. Kami dukung sepenuh hati. Begitu khan ya?” kata Ibu memancing reaksi.
Melihat ayahnya masih berpikir, Tere menyela, ”Apakah harus begitu Bunda? Menjadi apa? Untuk AyahIbu, kalau Pentakosta dipahami sebagai pergi jauh, lalu gimana?”
“Saya kira ucapan Ibu itu hanya salah satu alternatif untuk memberi semangat kepada kalian. Untuk Ayah dan Ibu sendiri sebetulnya kami kurang lebih sepakat dalam satu hal. Berusaha hidup sehat supaya tidak menjadi beban bagi Santo dan Tere dan keluarga lain terutama saat kami nanti menjadi tua. Pentakosta khan dalam arti tertentu berarti belajar ‘mandiri’ dan sedapat mungkin berguna bagi orang lain’.
“Persisnya gimana Yah? Tanya Tere mendesak. Sambil tersenyum, Ayah mulai menggoyang sendok dan garpunya, mengarah menu yang ada di meja, “Lihat menu kita malam ini ada tahu-tempe, rebusan wortel, kacang panjang dan labu, dan ini sayur bayam. Tadi siang kita makan gado-gado dan pepes ikan. Tadi pagi Ibu masak bubur tinutuan hasil belajar dari tetangga. Nah ini bagian, yang menurut hemat Ayah dan Ibu, cara paling sederhana untuk tetap bisa hidup sehat. Sengaja di depan dan samping rumah kita tanam sereh, cabe, lengkuas, kemangi supaya kita selalu menikmati makanan tradisional untuk menghindari penyakit-penyakit salah pola makan”.
“Jadi Pentakosta dihubungkan dengan pola makan begitu?” tanya Tere kembali penasaran. “Hehehehe… protes atau nanya? Bagi Ayah dan Ibu, itu salah satu cara praktis menghayati Pentakosta. Kalau ada yang butuh buah jambu dan belimbing depan rumah, ya kita kasih buat jadi makanan sehat untuk orang lain. Gitu aja kok repot”, gurau ayah sambil menirukan gaya bicara Gus Dur.
“Saya rasa Ayah betul” tegas Santo, “Ayah memulai dari yang paling mudah dilakukan dan berkaitan dengan diri sendiri dulu. Santo akan menanam lebih banyak tanaman buat nanti jadi bahan pecel, gado-gado, rujak, sayur sop, karedok, cap cay. Semakin lebih awal kita memulai hidup sehat, kata para dokter akan membuat masa tua kita lebih sehat, dan tentu ini membawa energi senyum dan akan membuat kita lebih berguna bagi orang lain. Sebuah kesaksian sederhana”.
“Jadi Santo tidak mau jadi pewarta Injil sampai ke ujung bumi?” goda Ibu. “Kalau itu menjadi kehendak Tuhan, nanti kita lihat Ibu. Yang jelas, saya setuju dengan Ayah dan Ibu. Santo harus memulai hidup sehat, salah satunya dengan belajar menikmati makanan tradisional. Seorang pewarta harus mencintai dirinya. Santo pernah mendengar dari psikolog bahwa orang yang mampu mencintai orang lain adalah orang yang sudah terlebih dahulu mampu mencintai dirinya sendiri”.
“Cinta diri? Bukannya kita harus belajar bersiap mengorbankan diri seperti Stefanus dan lain-lain?” protes Tere.
“Ehhhhh… rupanya Dik Tere ini perlu belajar sedikit psikologi. Yang namanya cinta diri adalah rasa berharga, senang dan penuh syukur dengan diri sendiri. Jadi beda dengan egois. Dengan begitu, pengorbanan diri justru mulai dari rasa berharga, dicintai lalu dari sana kita belajar menghargai orang lain, mencintainya dan lalu muncul rasa pengorbanan. Para rasul pastilah orang-orang yang mencintai diri mereka”.
“OK, Kak Santo memang ganteng. Lebih-lebih Ayah dan Ibu memang number one. Minimal mulai dari sekarang, Tere juga harus rajin makan makanan tradisional supaya jiwa tetap sehat. Mens sana i corpore sano. Tahu-Tempe untuk Pentakosta. Ayok makan …” kata Tere dengan muka berseri.
Penulis : Salvinus - Tim Kontributor Kolom Katakese
Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa