Banjir di minggu terakhir di bulan Februari menjelang awal masa Puasa, menambah derita dan kecemasan banyak orang yang belum benar-benar usai dengan penderitaan banjir awal tahun 2020. Banjir/tanah longsor, radikalisme, ancaman perpecahan sosial, kekerasan dan aneka bentuk kondisi buruk membuat banyak orang tak bersalah terpaksa ikut menanggung duka dan mengalami penderitaan. Krisis lingkungan, keputusan/kebijakan keliru pimpinan masyarakat serta ketidakpedulian sudah menjadi pemandangan dan pengalaman hidup sehari-hari. Akibat negatif yang dirasakan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat beriman di masa kini. Seruan pertobatan ekologis (dan sosial) oleh Paus Yohanes Paulus II (David J. O’Brien, Thomas A. Shanon, 1992:259) oleh karenanya sangat relevan dengan krisis ekologis dan hidup sosial dewasa ini.
Kepekaan terhadap penderitaan dan kemanusiaan menghadirkan kesadaran perlunya pertobatan dan perubahan kehidupan yang lebih baik. Paus Benediktus dalam Ensiklik “Caritas in Caritate” (No. 48) menyatakan bahwa alam merupakan anugerah Allah yang perlu dikelola secara bertanggung jawab. Kita umat beriman sebagai Gereja perlu melakukan pertobatan ekologis, terlibat mendampingi masyarakat untuk melindungi sumber daya alam dari penindasan, eksploitasi dan keserakahan. Dalam pertobatan ini kita berpaling kembali kepada Tuhan, mendengarkan suara alam dan jeritan sosial serta mengikuti kehendak Tuhan untuk diwujudkan dalam aksi dan gerakan-gerakan pembaharuan kehidupan. Kesadaran rohani untuk melindungi lingkungan berkelanjutan sangat ditekankan oleh Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si. Lingkungan dihayati sebagai rumah bersama perlu senantiasa dilindungi dan dijaga secara berkelanjutan.
Pertobatan sosial dan ekologis mencakup pembiasaan pengendalian diri melalui puasa dan amal kasih serta pembaharuan orientasi doa, hidup dan karya untuk melaksanakan kehendak Tuhan dalam wujud tindakan konkrit dan gerakan nyata. Praktik gerakan Yesus Tuna wisma selama masa Prapaskah 2020 membangun orientasi perubahan hati dan kebiasaan untuk peduli kepada orang yang miskin, kecil dan menderita. Gerakan dari tidak peduli terhadap lingkungan menjadi penuh perhatian dan peduli terhadap masyarakat lingkungan, hidup bersama dan pelestarian/pengembangan alam yang berkelanjutan.
Gerakan-gerakan pertobatan ekologis dan sosial, oleh karenanya, menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan umat beriman. Kepedulian terhadap pelayanan orang-orang kecil, miskin, lemah, tersingkir dan disabilitas (KMLTD) berarti secara konkrit Gereja mendampingi mereka supaya mereka mendapatkan tempat, pelayanan rohani dan sakramen-sakramen. Jangan sampai saudara-saudari kita LMKTD dan keluarganya di atas enggan masuk Gereja dan tidak mendapatkan pelayanan seperti persiapan baptis, komuni dan krisma sehingga mereka tidak mengalami diri sebagai anggota penuh persekutuan umat beriman atau Gereja. Buah pertobatan sosial dan ekologis di Tahun Keadilan tampak dalam kehidupan bersama yang makin baik, doa yang makin mendalam, kerukunan dan persatuan yang makin tumbuh dalam hidup bersama; dan setiap orang terutama orang-orang kecil, miskin, lemah, tersingkir dan disabilitas (KMLTD) mendapatkan tempat dan merasa menjadi makin penting, berharga, diterima serta dimanusiakan. Demikian wujud pertobatan ekologis dan sosial merupakan solusi dalam tindakan amal kasih, praktik dan gerakan-gerakan konkrit umat beriman.
Penulis : Andreas Yumarma
Sumber:- Martin Harun (penerjemah), 2016, Laudato Si’. Terpujilah Engkau, Jakarta: DepartemenDokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia- David J. O’Brien, Thomas A. Shanon, 1992, Catholic Social Thought. The DocumentaryHeritage, Maryknoll: Orbis Books.
Foto dan gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa