Persembahan yang Sejati

Tere lalu lalang di depan kamar Santo yang tidak kunjung keluar kamar. Akhirnya terpaksa dia mengetuk pintu, “He, Kak Santo… jangan tidur terus, ini kita semua sudah siap mau jalan. Kita sudah daftar Misa offline, jangan sampai tidak datang. Lain kali kalau tidak bisa, lebih baik regisrasi di Belarasa dibatalkan biar umat yang lain bisa hadir”.

Santo tiba-tiba keluar kamar dengan wajah lesu, “Maaf... saya barusan video call dengan beberapa teman, tidak bisa langsung stop”.

"Ngobrol bareng teman-teman atau lagi pdkt sama seseorang bidadari pujaan ?", potong Tere.

“Aku tahu kita mau ikut Misa offline Adik cantik, tetapi kok kita berangkat jauh lebih awal dari biasanya? Teman aku ada yang curhat. Bapaknya rupanya sering sakit-sakitan. Katanya sejak mengalami pensiun dini dari perusahaannya tahun lalu. Umur sekitar 50 tahun. Saya prihatin”.

“Jadi sekarang mereka mengalami kesulitan ekonomi?”, tanya Ibu. “Kesulitan hidup atau kekurangan makan sih tidak Bu. Saya lihat mereka keluarga cukupan. Hanya saja rupanya beliau tidak bisa menerima kondisinya ini Bu” kata Santo memberi penjelasan. “Yah bagi manusia, kerja memang bukan sekedar cari nafkah”, kata Ayah ikut nimbrung. “Beda dengan hewan, yang penting mereka tetap makan. Bagi manusia, pekerjaan bukan hanya sekedar cari makan tetapi bagian dari sosialisasi diri dan aktualisasi diri. Ibu misalnya, kalau tidak pernah masak untuk kita semua, pasti merasa ada sesuatu yang hilang sebagai Ibu. Saya menduga itu yang dialami Bapak teman kamu San”, lanjut ayah.

“Boleh jadi. Tetapi apakah kita ini memang harus kerja terus? Apakah kita hidup untuk kerja? Kapan kita menikmati hidup kalau kita hanya ditakdirkan untuk kerja?” balas Santo.

“Justru itu sekarang kita mau ikut Misa. Selain istirahat, waktunya untuk mempersembahkan hidup kepada Tuhan”, kata Ibu ingin memberi semangat. “Ada waktu untuk kerja, ada waktu untuk berdoa dan istirahat. Begitu yang Ibu pernah dengar dari Kitab Pengkotbah dan Kisah Penciptaan dalam Kitab Kejadian”, sambung Ibu sekali lagi.

“Mantap Ibu” puji Ayah

“Tetapi gini Yah dan Kak Santo ”, kata Tere tiba-tiba. “Ada kakak teman Tere yang sudah dapat
kerjaan yang bagus buat ukuran orang muda, malah mempertimbangkan untuk mau masuk seminari. Nah ini gimana, apakah kakak teman Tere ini tidak perlu sosialisasi dan aktualisasi diri. Apakah dia termasuk pengecualian alias abnormal, tidak perlu kerja?”

“Hehehe…. apa Tere pikir kalau para romo itu pengangguran tidak kerja? Itu penghinaan namanya”, protes Santo dengan nada menguat. “Yang Santo tahu, mereka memang tidak pertama-tama mencari uang tetapi mereka kerja untuk umat, sesama. Demikian juga dengan para biarawan dan biarawati. Malahan banyak yang tidak kenal istirahat. Lihat Ibu Teresa, pelindung paroki kita”.

“Betul sekali San. Dalam pertemuan Legio Mario, Ibu belajar bahwa ibadah yang sejati justru terjadi dalam keseharian kita”.

“Maksud Ibu, bekerja sama dengan ibadah?” kata Tere penasaran. “Kalau begitu kita tidak perlu ke Gereja dong”.

“Dalam Surat Rasul Paulus kepada umat di Roma, memang yang disebut sebagai ibadah yang sejati adalah ‘mempersembahkan tubuh sebagai persembahan hidup, kudus dan berkenan kepada Allah’. Menjawab pertanyaan Tere, Ayah teringat dengan sebuah bahasan dalam pertemuan KKS. Katanya perlu dibedakan antara ungkapan dan perwujudan. Ungkapan adalah pernyataan khusus seperti doa, pemberian kado, ucapan ‘I love you’.

Sementara perwujudan adalah pekerjaan yang kelihatan biasa tetapi di dalamnya ada ungkapan cinta juga. Ya, seperti Ibu yang masak tadi. Kegiatan masak adalah hal biasa, tetapi di dalamnya ada wujud cinta Ibu untuk kita semua”, kata ayah sambil mengangkat Puji Syukur yang dipegangnya setinggi muka.

“Oh… berarti ‘bekerja’ adalah persembahan diri?” tanya Tere dengan mata berbinar. Dalam kerja harian Ayah di kantor misalnya, ada wujud cinta Ayah untuk Ibu, Santo, Tere, Bos Kantor serta persembahan untuk Tuhan?”.

“Kurang lebih seperti itulah yang Ibu juga dengar dalam salah satu pertemuan Legio. Jadi supaya kerjaan yang berat menjadi ringan, mari kita hayati sebagai persembahan cinta antar kita dan untuk Tuhan. Tetapi ini jam... ayo buruan jangan sampai kita terlambat ke Gereja. Kalau mau lanjutkan diskusi, nanti malam aja” kata Ibu sambil menunjuk ke arah pintu keluar rumah.

Penulis : Salvinus

Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa


Post Terkait

Comments