Pekerjaan Melestarikan Budaya Kehidupan

Bunda Teresa dari Kalkuta pernah berkata, "Jika Anda tidak dapat melakukan hal-hal besar, lakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar. Jika Anda tidak dapat melakukannya dengan cinta yang besar, lakukan dengan sedikit cinta. Jika Anda tidak bisa melakukannya dengan sedikit cinta, lakukan saja." Maka jelaslah bahwa “pekerjaan” dan “kehidupan” tidak bisa dipisahkan, ibarat dua sisi mata uang, bisa dibedakan tetapi tidak terpisahkan. Sajian tema, Pekerjaan Melestarikan Budaya Kehidupan pada rubrik katekese edisi minggu ini sungguh menarik. Pekerjaan membantu kita menjalani kehidupan yang baik. Jenis pekerjaan yang berbeda akan membentuk karakteristik karya yang berbeda sesuai skema pembingkaian dan penghayatan diri dari orang yang menjalaninya. Ujungnya adalah setiap orang diharapkan dapat mengembangkan potensi diri melalui kerja kreatif, inovatif, konstruktif untuk menunjang hidup relasional secara horizontal maupun vertikal.

Manusia menjadi Subyek Kerja
Dasar utama nilai kerja adalah manusia itu sendiri. Maka, layak dan sepantasnya bahwa tidak ada pemaksaan terhadap manusia karena manusia memiliki kedaulatannya sendiri. Kerja pertama-tama adalah demi manusia bukan sebaliknya. Manusia beraktivitas, memberi makna tersendiri pada ‘bentuk’ dan ‘hasil’ kerja yang dijalankan. Maka bekerja tidak hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup, pemujaan bahkan membuat kultus terhadap karier.

Sebaliknya manusia ‘bekerja’menjadi predikat dan menjadi identitas manusia. Kitab Kejadian 1:28, mencatat, “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikanikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." Manusia ambil bagian dalam ‘pekerjaan’ Tuhan, dan melaksanakan apa yang diperintahkan Tuhan sendiri, “Enam hari lamanya engkau bekerja, …” (Kel.34:21). Demikian “kerja” menjadikan manusia secitra dan segambar dengan Allah, yang ‘berkarya’ menyatakan diri dan kehendak-Nya, manusiapun menyatakan diri dan makna diri melalui kerja (bdk. Laborem Exercens, 6).

Manusia Bukan Medium tetapi Tujuan dari Kerja
Tidak mustahil kita bisa menjumpai pengalaman yang menyakitkan. Ada orang yang ‘dipekerjakan’ untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Manusia diperalat oleh sesamanya; manusia menjadi objek untuk tujuan yang lain.

Maka seseorang dikehendaki sejauh ‘menguntungkan’ atau bisa berkontribusi memajukan kepentingan subyek yang lain. Tidak jarang kita jumpai, praktik eksploitasi remaja, anak-anak
dan wannita, atau ada praktik orang ‘difabel’ atau berkebutuhan khusus ‘dipekerjakan’ sebagai ‘pengemis’ di pinggir jalan, dihantar pada waktu tertentu untuk ‘bekerja minta-minta’
dan pada waktu tertentu akan dijemput kembali. ‘Pendapatan’ dari praktik kerja harian itu kemudian disetor kepada ‘majikan’nya. Atau seperti yang viral di media sosial, pengemis yang
kaya raya, mempunyai simpanan di bank ratusan juta (Kompas.com, Pengemis Terkaya). Keberadaan atau hidup ‘manusia miskin’ dijadikan sarana untuk memaksakan orang lain bisa
melayani atau membantu. Orang lain memperalat dirinya, atau berada di bawah ‘kekuasaan’ orang lain untuk melakukan aktivitasnya demi memenuhi kepentingan orang lain.

‘Kerja’ pada hakekatnya menjadi aktivitas dan cara berada manusia untuk mewujudkan dirinya sebagai bagian dari suatu kebersamaan. Maka pekerjaan menjadi cara berada seseorang untuk berkontribusi bagi kehiduan yang lebih luas. Demikian fungsi dan posisi dalam suatu pekerjaan tidak pernah harus menjadi tujuan yang harus dikejar, sebalkinya menjadi sarana untuk semakin berkontribusi bagi orang lain. Pekerjaan mendekatkan kita kepada Tuhan dan sesama; pekerjaan sebagai ekspresi iman (bdk. Rom.14:23). Bahkan Rasul Paulus dengan tegas mengatakan, “… kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan. Mereka yang tidak melakukan pekerjaannya adalah anggota jemaat yang bermalas-malasan dan tidak mau bekerja” (2 Tes. 3:10).

Karakteristik ‘Pekerjaan’ Kristiani
Menjalankan aktivitas kerja secara benar akan menghantarkan kita pada sikap ‘ketergantungan’ kepada Tuhan. Seseorang akan semakin percaya kepada Tuhan, atas nafas yang ada, mensyukuri kemampuan untuk bergerak, berpikir, tenaga untuk beraktivitas serta kesempatan yang dimiliki. Sikap ketergantungan kepada Tuhan yang benar akan berdampak pada keutamaan integritas, yaitu bersikap jujur, penuh tanggungjawab dan dedikatif.

Demikian, pekerjaan dalam perspektif kristiani akan memiliki karakteristik berikut. Artinya pekerjaan orang kristiani tidaklah sempit untuk kepentingan diri sendiri, sebalkinya mempersatukan dan terbuka kepada orang banyak; pars pro toto, pekerjaan dihayati sebagai bagian-bagian untuk keutuhan yang lebih besar; dedikatif, suatu pekerjaan dilaksanakan tidak dengan semangat minimalistis, sebaliknya sebuah ekspresi totalitas bahkan dengan pengorbanan diri. Akhirnya, haruslah dikatakan bahwa sebuah pekerjaan bagi seorang pengikut Kristus, bersifat kristiani, karena setiap orang kristen mengambil bagian dalam karya-imamat Yesus Kristus, menjadi imam, yang melayani kepentingan orang lain, sebagai nabi, yang mewartakan berita sukacita melalu kata-kata dan tindakan yang bermnfaat bagi orang lain, dan sebagai raja, dimana peranan dan kewibawaannya mengayomi dan menyejukan orang banyak.

Penulis : Bruno Rumyaru - Tim Kontributor Kolom Katakese

Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa


Post Terkait

Comments