Hari sudah mulai malam namun Santo tak kunjung pulang ke rumah. Tere sedikit gelisah sehingga ia beberapa kali bolak-balik ke kamar sambil memegang kartu domino. “Ini pasti ada sesuatu dengan Kak Santo”. Tak sabar menunggu, Tere lalu mengetik sesuatu di hp-nya “Kak Santo, ditunggu Ayah dan Ibu. Mereka sudah duduk di depan meja, siap main domino lho. Katanya pergi tidak lama, kok belum pulang juga?”. Tere kemudian ikut duduk sambil menonton TV. “Kita nonton aja dulu yah….” Kata Tere kepada kedua orang tuanya. Tiba-tiba mereka bertiga dikejutkan oleh ribut-ribut pilpres di TV. Ibu pun angkat bicara, “Sekarang ini orang belum juga lepas dari diskusi pilpres. Di TV ribut, di grup WA apalagi. Calon pemimpin kita dan para pendukungnya selalu benar kata sendiri, yang lain selalu dianggap salah, tak ada yang benar”.
“Lha Bu, biasalah itu. Peristiwa lima tahunan. Nanti juga pada duduk ketawa ketiwi temanan lagi. Tidak usah dipikirin, apalagi dipusingkan. Yuk kita mulai aja dulu bertiga” kata Ayah menimpali sambil menunjuk kartu yang ada di tangan Tere mengisyaratkan Ayah ingin kartu cepat dibagikan.
“Siap Yah…. “ kata Tere sambil memperbaiki posisi duduknya. “Tetapi kalau omongan Ayah benar, maka mereka semua tidak mempunyai nilai pegangan selain hasrat berkuasa? Pragmatis sekali, hanya bagi-bagi kuasa dan kue ekonomi. Saatnya orang-orang Katolik tampil membawa perubahan moral dan semangat baru. Tetapi gimana ya, orang Katolik yang mau dan bisa lolos caleg aja sangat terbatas. Salah siapa dan harus bagaimana?” tanya Tere dalam kebingungan.
“Memang susah Ter” potong ayah, “Tetapi bukan mustahil. Syaratnya harus mulai dari sejak muda, mau dikenal dan memperkenalkan diri kepada masyarakat luas, tidak mengurung diri di rumah. Masyarakat butuh orang yang mereka kenal mau berbagi dan berkorban untuk mereka” .
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Begitu dibuka, Santo masuk sambil minta maaf, “Tadi Santo ngobrol dengan beberapa umat. Santo lama dengarin cerita karena menarik. Rupanya di area Lingkungan Laurensius, ada seorang bapak tua nonkatolik yang tinggal seorang diri di sebuah rumah yang sangat sederhana. Padahal menurut cerita, bapak tua ini punya beberapa anak yang tinggal di luar negeri, jadi bukan orang miskin. Namun beliau betah tinggal di situ. Dapat bocoran bahwa beliau sangat akrab, banyak curhat dan enjoy dengan beberapa umat kita di sana. Kalau sakit atau ada apa-apa, beliau tidak sungkan ‘nyolek’ umat kita yang dekat. Kurang lebih itu yang menarik perhatian Santo untuk berlama-lama. Ayok kita mulai permainan” ujar Santo mengomentari keterlambatannya.
Suasana diam sejenak, sampai Tere selesai membagikan kartu domino. Sambil memungut kartunya, Ayah angkat bicara, “Cerita Kak Santo menarik. Kalau jangkauan bisa diperluas, kita bisa berharap umat kita bisa ambil bagian dalam kepemimpinan negara dalam berbagai bentuk dan level”. Ucapan ayah, segera dipotong oleh Ibu “Ibu teringat dengan penjelasan Tere di akhir tahun lalu tentang Rm Van Lith dan para misionaris di awal berdirinya hirarki Indonesia. Mereka bekerja semata demi kemuliaan Tuhan bukan demi nama baik apalagi demi uang” kata Ibu singkat.
Mendengar komentar Ibu, Santo melanjutkan “Kisah para misionaris mengingatkan Santo pada uraian Jim Collins tentang pemimpin yang ideal dalam bukunya Good to Great. Dalam bukunya yang berbasis pada hasil survey atas perusahaan yang dianggap berhasil dan bertahan lama (lestari) itu, Collins membuat 5 level kepemimpinan. Level yang paling tinggi adalah level 5, atau disebut juga sebagai pemimpin yang ideal. Pemimpin ideal ini ini menurut Collins bersifat paradoksal; satu pihak profesional tetapi rendah hati, ambisius tetapi bukan untuk kepentingan diri sendiri melainkan untuk perusahaan. Mereka tampil biasabiasa saja karena tujuan mereka adalah membuka ruang/jalan atas lahirnya pemimpin yang lebih besar dari dirinya, rela dikritik asal demi masa depan organisasi”.
“Pemimpin seperti ini sangat sejalan dengan filosofi piramida terbalik dari struktur kepengurusan Paroki kita. DPH, Pastor Paroki disusul pengurus lingkungan/seksi berada paling bawah untuk melayani umat” kata Ibu mendengar keterangan Santo.
“Persis sama dengan semangat Yohanes Pembaptis, membiarkan Yesus makin dikenal dan rela menjadi tidak popular” sahut Tere.
Begitu Tere selesai bicara, tiba-tiba Ayah menurunkan kartunya sambil berkata, “Nah kartu terakhir, artinya Ayah menang...”
Tere menghitung jumlah kartu di tangannya, lalu katanya “Wah… sepertinya Tere harus belajar melayani. Tetapi berarti Ayah bukan tipe pemimpin ideal menurut Jim Collins. Harusnya Ayah tidak mencari kemenangan untuk diri sendiri. Gimana dong Yah?” kata Tere penuh canda sambil mengumpulkan kartu dari meja.
Ketika suasana hening sejenak menanti Tere selesai menjalankan tugasnya membagi kartu, Ibu menyampaikan hasil relfeksinya, “Mazmur tanggapan minggu ini antaralain bicara tentang kematian berharga di mata Tuhan. Injil bicara tentang larangan Yesus kepada murid-Nya untuk bercerita tentang penampakan kemuliaan Yesus sebelum Yesus sendiri bangkit dari antara orang mati. Buat Ibu, larangan ini menjadi pertanda bahwa Yesus ingin para murid tidak hanya bicara tentang apa yang terjadi dengan Yesus. Sebaliknya Yesus ingin supaya hidup para murid sendiri digerakkan dan mencerminkan kehadiran Allah dalam hidup mereka”.
“Nah, Tere nikmatilah permainan kartu ini sebagai sarana belajar melayani” gurau Santo pada adiknya.
“OK deh... siap, belajar melayani lewat domino. Giliran Kak Santo berikutnya. Tere akan memberi peluang, lihat saja” kata Tere balik bercanda.
Penulis : Salvinus Mellese - Tim Kontributor Kolom Katakese
Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa