Setelah seharian mengikuti lomba di lingkungan RT, Tere bergegas pulang ke rumah lalu duduk di depan teras. Lelah mendera dari ujung kaki sampai kepala. Tak terasa, kepalanya menempel di lantai, lalu diikuti seluruh badannya ikut berbaring lemah kendati masih penuh keringat. “Sambil menungguh Ayah dan Ibu serta Kak Santo yang masih terlibat dalam percakapan dan kegembiraan hari kemerdekaan Indonesia dengan warga yang lain” demikian pikirnya sehingga ia betah berlama-lama sambl memandang ke langit angkasa.
Saat mengarahkan perhatiannya satu per satu pada bagian tubuh yang lelah, WA dari Lucy, sahabatnya dari negeri Paman Sam memaksanya memiringkan kepala untuk membaca. “Halo Ter, gimana khabar Indo, dan Gereja Paroki? Pasti lagi penuh sukacita. Pacem in terris seperti kata Paus Yohanes XXIII. Semoga negeri kita bebas dari perang, perpecahan, terorisme sebagaimana dicanangkan dalam ensilklik tersebut. Hidup NKRI, bersatu kita teguh. Dirgahayu Indonesia, Dirgahayu Paroki Cikarang, semoga gedung Gereja cepat dapat dibangun”.
Pesan singkat dari Lucy, membuat rasa lelah Tere berangsur-angsur sirna. Dengan segera ia membalas, “Di RT kami dan di banyak tempat di sekitar Jakarta, orang ramai merayakan hari kemerdekaan. Di RT kami saja, semua membaur dalam kegembiraan. Puji Tuhan, covid sudah berlalu, melelahkan tetapi menyenangkan. Tua-muda ikut lomba. Ada adu otot, adu teriak, bercampur adu tawa. Tak ada sekat antara tua dan muda, antara golongan satu dengan yang lain. Sungguh pesta rakyat. Malam nanti akan ada makan bersama. Perihal Gereja, saat ini kami sedang mencoba mengumpulkan dana. Peletakan batu pertama sudah dilakukan. Mohon bantu doa supaya umat tetap bersatu, sehati sejiwa sebagaimana harapan Lucy waktu itu” demikian Tere memberi komentar.
“Keren Ter. Saatnya Idonesia bangkit menjadi negara besar. Semoga muncul pemimpin-pemimpin yang bersemangat melayani, sehingga ketimpangan sosial dapat diperbaiki, buta huruf dapat diberantas. Semoga pacem in terris alias damai di bumi tercipta mulai dari Indonesia” balas Lucy.
“Luc, kamu sepertinya sedang belajar banyak tentang ajaran sosial Gereja. Setidaknya mungkin lagi bergumul dengan Ensiklik Pacem in Terris. Kalau Tere perhatikan, pandanganmu sejalan dengan pendapat Kak Santo. Katanya, yang dibutuhkan saat ini adalah figur seorang tosser ketimbang spiker. Sebab menurut Kak Santo, yang dibutuhkan dalam masyarakat adalah orang yang mau bekerja untuk masyarakat dan Gereja tanpa menonjolkan diri, tanpa sorak pujian. Dia bekerja penuh pengorbanan tanpa publikasi”.
Tere memandang jauh ke depan, berharap Santo dan kedua orang tuanya pulang ke rumah. Dia ingin tahu kesan mereka tentang lomba-lomba. Karena tidak melihat ketiga sosok yang dinantikan, Tere kembali menjatuhkan badan di lantai sambil menarik nafas panjang. Tiba-tiba ia teringat akan kata-kata Yesus dalam Injil Matius pasal 25 “Ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku ... segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”. Tere tenggelam dalam kata-kata itu, “Option for the poor. Berarti jelas bahwa beriman berarti bersahabat dengan semua orang, terutama orang miskin dan lemah. Pantaslah Gereja memiliki Bidang Pelayanan, ataupun juga Seksi Keadilan dan Perdamaian. Bukankah Allah adalah kasih dan Yesus sendiri adalah Allah yang menjadi manusia?”
Saat Tere terus mengikuti kesadaran pemikirannya, hp-nya kembali bergetar.
“Lucy juga hanya mengerti sedikit tentang ajaran sosial gereja. Secara umum yang dipandang sebagai ajaran sosial gereja yang pertama adalah Ensiklik ‘Rerum Novarum’ (Hal-hal Baru) dari Paus Leo XIII pada tahun 1891, berkaitan dengan munculnya masalah buruh pada periode awal Revolusi Industri. Paus mengecam baik kapitalisme yang begitu mendepankan hak/ kekuasaan modal maupun sosialisme yang melarang hak pribadi. Melawan kedua paham itu, Paus Leo XIII mengakui adanya kepemilikan pribadi tetapi bukan tidak terbatas, sebab harta memiliki dimensi sosial.
Enskilik yang lain adalah Quadaragesimo Anno, yang ditulis oleh Paus Pius XI dalam rangka 40 tahun Rerum Novarum. Latar belakang ensiklik ini adalah krisis ekonomi sekitar tahun 1930-an serta kian sengitnya perjuangan kelas dalam tatanan ekomomi. Selain menekankan prinsip-prinsip solidaritas dan kerja sama, Paus menekankan bahwa upah harus seimbang tidak saja dengan kebutuhan-kebutuhan pekerja tetapi juga dengan kebutuhan keluarganya. Melihat kecenderungan sejumlah negara yang cenderung mencampuri urusan pribadi warganya, Paus menerapkan prinsip subsidiaritas, yakni negara sebaiknya hanya campur tangan dalam persoalan yang tidak bisa diselesaikan secara pribadi. Mungkin itu saja Ter yang bisa Lucy bagikan.”
Ketika bangun dan mengangkat kepalanya, Tere menyadari bahwa Santo dan kedua orang tuanya sudah berada di depannya. “Ter, ada wacana dari warga untuk membantu keluargakeluarga yang tidak mampu mengupayakan BPJS secara mandiri. Juga ada wacana warga membuka pelajaran untuk mereka yang tertinggal dalam hal baca-tulis. Kamu mau khan ikut membantu? Tadi Kak Santo daftarkan nama Tere juga sebagai relawan” Kata Santo.
“Tere pasti mau, dan harus mau. Kita harus ingat Pastor Van Lith di Muntilan. Beliau berpihak pada pribumi Indonesia. Bahkan menegaskan bahwa kalau ada konflik antara Indonesia dan Belanda, maka Beliau memilih pribumi alias Indonesia merdeka” sambung Ayah atas komentar Santo.
“Merdeka, Pacem in Terris”, jawab Tere.
Penulis : Salvinus Mellese - Tim Kontributor Kolom Katakese
Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresaa