Menjadi Pensil di Tangan Tuhan

Selesai pimpin doa makan, Tere merenung sebentar lalu membuka pembicaraan, “Selama ini saya pikir Ibu Teresa itu orang yang sangat luar biasa. Nyatanya… tidak juga ya?” Santo, Sang Kakak serta ayah dan ibunya tersenyum saling memandang. “Maksud Tere gimana? Apa maksud Tere kalau Ibu Teresa tidak layak jadi pelindung paroki kita?” sahut Ibu sambil melihat wajah Tere.

“Ah Ibu …. jangan salah sangka”, jawab Tere dengan cepat. “Lalu, maksud Tere gimana dong”, kata Ibu penasaran. Tere menarik nafas panjang lalu menjawab, “Selama ini Tere pikir Ibu Teresa orang yang istimewa, punya kharisma tinggi, hatinya selalu berbunga di hadapan Tuhan, langkahnya selalu pasti. Saya baru sadar kalau beliau sebetulnya tidak jauh beda dengan Tere”.

“Tere semalam mimpi Bu, jadi ngacau deh”, ujar Santo tiba-tiba. “Hehehehe…. anakku ini kok sejak kapan mulai sombong seperti itu menyamakan diri dengan Ibu Teresa”, potong Sang Ayah yang kelihatan kaget dengan ucapan anakya. “Ibu Teresa adalah pahlawan kaum miskin, untuk itu, beliau pada tahun 1979 memenangkan nobel perdamaian. Pada tahun 2007, Tarekat yang beliau bangun ‘Misionaris Cinta Kasih’ beranggotakan kurang lebih 450 bruder dan 5.000 biarawati di seluruh dunia, menjalankan 600 misi, sekolah dan tempat penampungan di 120 negara. Pemakamannnya di tahun 1997 diikuti oleh jutaan orang dari berbagai penjuru dunia lewat berbagai media” sambung Ayah.

“Aduh…. Ayah kok tumben kali ini cepat nyela, biasanya memberi aku kesempatan kalau bicara. Tetapi aku senang semua serius mau dengar cerita Tere”. Santo dan kedua orang tuanya seketika diam mencoba memahami maksud Tere.

“Begini….”, sambung Tere. “Semalam aku ke kamar Bapak. Di pinggir tempat tidur, ada buku tentang Ibu Teresa. Aku teringat sebentar lagi kita merayakan hari ulang tahun paroki kita. Jadi saya baca sedikit. Penulisnya bernama Josef Langford”. Sang ayah tersenyum karena paham buku yang dimaksud.

“Di bagian tengah”, lanjut Tere, “Ada kutipan dari catatan harian Ibu Teresa dimana Ibu Teresa pada suatu waktu merasa bahwa apa yang diminta Yesus daripadanya melebihi kemampuannya. Ia merasa lemah, berdosa, sehingga memohon kepada Tuhan Yesus untuk mencari orang lain yang lebih berharga dan murah hati. Dan, memang ternyata Ibu Teresa bukan orang pintar atau berbakat, apalagi kaya. Cantiknya masih 11-12 dengan Tere hehehe. Yang paling mengharukan ialah bahwa ketika Ibu Teresa meninggalkan biaranya yang lama, menuju kampung-kampung kumuh, beliau sebetulnya tidak mempunyai keterampilan tertentu selain pengalaman menjadi guru. Uang di saku tidak lebih dari satu dolar atau 5 Rupee dan tak ada jaminan bantuan apapun dari orang lain’.

“Oh gitu toh maksud Tere?”, goda Santo yang mulai penasaran. “Nah karena saya mau kuliah pagi, saya cerita singkat aja dulu ya. Apa yang beliau katakan tentang menjadi pensil di tangan Tuhan ternyata merupakan bagian dari pengalaman beliau. Beliau merasa sungguh tidak layak dan tidak mampu untuk mengambil langkah. Namun beliau kemudian siapkan diri apa adanya mengikuti kehendak Tuhan sebagaimana beliau tuangkan dalam catatan hariannya ‘Aku tahu kamu adalah orang yang paling tidak mampu-lemah dan berdosa, tetapi karena itulah Aku ingin menggunakanmu bag kemuliaan-Ku. Akankah kamu menolak melakukannya bagi-Ku?’.

“Aku jadi terharu Dek. Terima kasih atas sharing di pagi ini”, Santo menimpali, “Aku jadi teringat salah satu catatan harian beliau. Katanya, seandainya beliau di awal karyanya tidak mengambil orang pertama yang sekarat, beliau tidak akan mengambil ribuan orang di kemudian hari”.

“Terima kasih Tere, Santo dan Ibu. Diskusi kita pagi ini mengingatkan kita bahwa langkah kecil apapun yang kita buat hari ini, akan berguna bagi Tuhan dan menentukan langkah kita selanjutnya. Semoga kita diberkati dalam aktivitas kita masing-masing”, kata Ayah menutup pembicaraan pagi.

Penulis : Salvinus

Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa


Post Terkait

Comments