Mabuk Anggur Manis

Sabtu yang indah. Hari ini Tere tidak perlu kuliah. Hatinya puas bisa menyempatkan diri membersihkan tanaman di sekitar rumahnya. Sebetulnya tidak banyak yang bisa ditanam atau dibersihkan karena memang lahan sempit. Untung ada pot sehingga bisa diatur rapih di sekeliling rumah. Tanaman itu sudah menjadi sahabat tak bicara bagi keluarganya. Pohon mangga satu-satunya di depan rumah misalnya, memang sudah sedikit menggangu karena akarnya mulai merambat ke arah teras rumah, namun keluarga mempertahankannya karena telah banyak memberi kesejukan di saat panas matahari membakar. Daunnya “evergreen”, membuat mata tetap santai. Apalagi buahnya, sudah cukup banyak dinikmati oleh keluarga dan tetangga.

“Seandainya lahan rumah ini besar, Tere akan menanam berbagai jenis tanaman dan sayuran. Pohon cabe akan saya tambah banyak biar tidak perlu beli. Bunga dan sayuran yang lebih banyak pasti juga akan membuat rumah lebih asri”. Namun kemudian muncul pula pikiran lain “Tetapi tidak boleh mengandai-andai. Ibu Teresa menginspirasi untuk melakukan hal yang kecil dengan cinta yang besar dari apa adanya. Lakukan apa yang bisa dilakukan”. Tere kemudian mencabut rumput liar yang mulai berkembang. Diambilnya pula gunting khusus untuk memangkas daun tua dan dahan kecil yang dianggap tidak rapih. Beberapa tanaman diberi pupuk kompos tambahan. Kemudian tiba-tiba ibunya datang.

“Lihat nih foto keluarga pada liburan Lebaran lalu, cantik-cantik semua. Ini foto di gunung, indah sekali. Ibu merasakan kesejukan sampai di relung hati. Kalau yang ini waktu di pinggir pantai. Alunan ombak laut dan batu karang dengan segala asesorisnya membuat Ibu terpesona betapa Tuhan itu luar biasa. Lihat, senyum Tere lebar sekali. Ayah apalagi, seolah kembali muda, tidak menghindar dari panas matahari. Ibu teringat kalimat dari pemazmur yang takyub di hadapan Allah “apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?”

Luapan kekaguman Ibu akan alam semesta membuat Tere terbayang dengan artikel yang pernah dibacanya. Tere malahan lupa kalau dia sedang berbincang dengan ibunya. “Ter, kok bengong sih?"

“Iya ya Bu? Gini…, tetapi baiknya kita duduk dulu yuk”. Sambil mengambil tempat duduk, Tere melanjutkan ceritanya, “Tere pernah membaca tentang “centenarian” atau orang yang berumur di atas seratus tahun. Daerah yang dianggap mempunyai prosentase centenarian paling banyak, ada di pulau kecil di kepulan Karibea. Di urutan pertama adalah Guadeloupe. Di situ ada 299 orang centenarian atau 75 orang untuk setiap 100.000 penduduk. Di urutan kedua dan ketiga (juga di Kepulauban Karibea) ada Barbados (71 centenarian per 100.000 penduduk) dan Martinique (61 centenarian per 100.000 penduduk). Ada yang menghubungkan kenyataan umur panjang ini dalam konteks kedekatan relasi manusia dengan alam. Ketiga daerah ini adalah pulau yang relatif kecil, banyak pantai sehingga mendukung kesehatan dan energi bahagia manusia”.

“Wah, menarik sekali Ter”.

“Apa yang menarik Bu?” Tanya Santo yang mendengar pernyataan Ibu yang terakhir.

“Kita lagi ngobrol tentang orang yang berumur panjang, rupanya faktor relasi dengan alam juga ikut menentukan”, kata Ibu memberi penjelasan. Mendengar hal itu, Santo ikutan memberi komentar, “Saat ini, catatan rekor orang yang paling tua di dunia dipegang oleh seorang wanita bernama Maria Branyas Morera yang saat ini berusia 116 tahun.

Dia lahir 4 Maret 1907, masih dalam kondisi sehat. Nenek yang berasal dari Catalonia ini dijuluki Guinness World Records sebagai nenek super karena telah bertahan selama pandemi flu Spanyol 1918, Perang Dunia, dan Perang Saudara Spanyol. Dia juga selamat dari serangan COVID-19 hanya beberapa minggu setelah ulang tahunnya yang ke-113”.

“Ada tips-tips umur panjang dari nenek super ini?” tanya Ibu.

Menjawab pertanyaan Ibu, Santo memberi penjelasan, “Sang Nenek super mengaitkan umur panjangnya dengan beberapa hal, yakni mulai dari menikmati alam dan pergaulan yang baik hingga menjauhi diri dari orang-orang yang toksik, selain menyadari adanya kemungkinan faktor keberuntungan dan genetika yang baik”.

“Pergaulan dan menikmati alam?”, tanya Ibu penasaran.

“Tere pikir, hal lain adalah pola makan sehat. Tetapi memang sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa hal-hal seperti bersikap optimis, pergaulan dan menikmati keindahan alama punya andil yang penting”, sahut Tere.

“Tetapi pergaulan tidak harus sama dengan hura-hura ya, karena sebelum Branyas Morera menyandang gelar orang tertua di dunia, rekor dipegang oleh seorang biarawati Prancis bernama Suster André, yang meninggal dunia  pada usia 118 tahun. Selain dia, ada juga sejumlah biarawati Katolik yang ‘bergelar’ centenarian dan bahkan supercentenarian (di atas 110 tahun),” sambung Santo.

“Dan rupanya….”, Santo kembali memberi keterangan , “ seorang antropolog bernama Anna Corwin, sampai pada beberapa kesimpulan setelah menyempatkan waktu tinggal di biara dan mewawancarai para suster. Kesimpulan pertama dan utama adalah bahwa para suster yang berumur panjang menjalani kehidupan yang penuh makna serta berada dalam komunitas yang erat dan suportif. Mereka dikatakan cenderung menolak stigma seputar penuaan. Corwin mengatakan para suster centenarian aktif melakukan kegiatan berdoa dan bersosialisasi hingga usia lanjut. Mereka tidak serta merta menganggap diri mereka tua. Corwin menyimpulkan bahwa para biarawati centenarian itu menemukan kepuasan dan makna hidup dengan membantu orang lain. Mereka juga memandang dirinya memiliki otonomi dan hak pilihan”.

Mendengar keterangan Santo, Ibu teringat akan Ayah, lalu memanggil Ayah yang sedang menonton di depan TV. Mereka bertiga memberitahu Ayah tentang hal itu. Saat bergabung, dengan senyum Ayah berkata, “Ayah berteman dengan siapa saja karena itulah salah satu cara untuk menikmati hidup.

 Dengan alam, Ayah belajar pakai hati. Kekaguman dari relung hati akan alam, membawa endorphin sukacita tersendiri. Sakit badan tidak jarang dimulai dari lelah mental, jiwa; sebaliknya pemulihan sakit yang cepat banyak ditentukan oleh optimisme dan dukungan sahabat-keluarga”.

“Ayah, kita akan merayakan hari raya Pentakosta. Adakah Ayah melihat benang merah pembicaraan ini dengan Pentakosta?” tanya Tere.

“Sejujurnya, perlu permenungan. Karena beriman tidak harus berarti berumur panjang. Yang pasti adalah bahwa iman mengandaikan adanya harapan dan optimisme yang tinggi. Setelah menerima Roh Kudus, para rasul berani bersaksi di hadapan umum. Mereka tidak terkungkung oleh kematian Yesus, tetapi maju dengan perspektif yang baru yakni Kristus hidup selama-lamanya dan Roh-Nya selalu hadir sepanjang masa. Mereka lalu bersaksi tanpa takut, dengan sejumlah kejutan, seperti kemampuan berbahasa asing. Karena itu sejumlah orang mengira kalau mereka mabuk oleh anggur manis (Kis.2:13)”.

Penulis : Salvinus Mellese - Tim Kontributor Kolom Katakese

Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa


Post Terkait

Comments