Tahun Keadilan Sosial menjadi fokus bagi segenap umat Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Semuanya memotivasi diri masing-masing, merubah sikap hidup dan setia melakukan hal-hal yang baik untuk kehidupan yang lebih luas. “Kita Adil, Bangsa Bermartabat” demikian, himbauan Bapa Uskup KAJ, Kardinal Ignatius Suharyo. Kita mulai dari diri sendiri, keluarga, lingkungan yang lebih kecil, dan mengharapkan akan berbuah bagi masyarakat luas.
Seruan dan pesan hidup yang benar itu disampaikan Yesus dalam Khotbah di Bukit, seperti dicatat oleh penginjil Matius (5:17-37) dan kita dengarkan dalam liturgi gerejani minggu ini dalam Pekan Biasa VI.
Seruan Yesus merupakan ‘aturan atau pola hidup Kristen yang sempurna’ – hukum yang barusebagai lawan dari hukum yang lama. Yesus hadir untuk menyampaikan kebenaran Allah yang memimpin orang untuk hidup dalam ‘Keadilan yang memerdekakan’. Bagian injil hari ini (5:17-37) menyampaikan beberapa prinsip tentang “Keadilan yang Memerdekakan” diri dan hidup kita.
Pertama, Yesus adalah Kepenuhan Hukum. Matius menampilkan sikap Yesus kepada para murid-Nya. Yesus menjadi pusat segala hukum, kepenuhan dan kegenapannya. Hidup bersama Yesus dan melakukan semua kehendak-Nya menunjukkan suatu pilihan hidup yang bebas dari belenggu seperti sikap mementingkan diri sendiri, anti sosial, ataupun keterikatan pada harta dan kekuasaan. Cara hidup yang terakhir adalah bertentangan dengan martabat manusiawi. Sebaliknya cara hidup mengikuti Yesus merupakan praktik hidup benar dan menghantar kita masuk ke dalam Kerajaan Sorga.
Kedua, Kemarahan. Ayat 21-26 menampilkan dengan jelas sikap tentang penguasaan diri dan tidak menjadi hakim bagi orang lain. Pilihan mengikuti Yesus membawa konsekuensi bahwa manusia belajar untuk melepaskan dirinya (selfless) dan bertindak adil kepada orang lain. Tindakan dan praktik hidup yang adil dan tidak semena-mena membebaskan kita dari sikap mementingkan diri sendiri (egocentric) dan lebih mengutamakan kepentingan orang lain (altrosentric).
Ketiga, Nafsu-berahi. Ayat 27-30 merupakan sikap Yesus melawan cara hidup yang dikuasai ‘nafsu-berahi’. Manusia harus bebas dari belenggu ini, dan memanfaatkannya untuk hal-hal positif sesuai dengan martabat manusiawi. Sikap Yesus sangat tegas, kalau mata menyesatkan kita, maka cungkillah ; demikian kalau tangan kita dipakai untuk melakukan hal-hal yang jahat maka penggallah.
Keempat, Perceraian. Ayat 31-32 merupakan seruan untuk membebaskan diri dari sikap mau menang sendiri dan mengabaikan, atau bahkan memutuskan hidup bersama dengan orang lain. Pilihan hidup untuk bersama dengan yang lain secara ekslusif seharusnya menjadi jalan hidup yang dihayati secara bebas untuk mencintai Tuhan dalam diri pasangan hidup masing-masing.
Kelima, Sumpah. Kelima ayat terakhir, menulis sikap Yesus tentang ‘sumpah’ atau janji yang kita ucapkan. Yesus mengharapkan para murid-Nya untuk berada dalam keadaan bebas-merdeka dan bertindak secara adil-benar sesuai dengan hukum yang diberikan dari Tuhan sendiri. Sikap patuh dan taat dilakukan dengan taat beribadah, dan setia melakukan hukum-norma dan aturan hidup agar tetap di jalan yang benar dan terbuka kepada semua orang.
Penulis : Bruno Rumyaru
Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa