“Peran serta Kita dalam mewujudkan Kesejahteraan Bersama” menjadi tema doa dan refleksi panjang mengisi masa Prapaskah tahun 2023 di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Tema Prapaskah ini tentu saja menjadi upaya kita bersama untuk mewujudkan Arah Dasar (ARDAS) Pastoral di KAJ, “Mengasihi – Peduli – Bersaksi – Kesejahteraan Bersama”.
“Kerja, Membangun ‘religius kultural’”, demikian tema rubrik katekese Warta Teresa (WT) minggu ini harus dibaca juga dalam konteks dan semangat pastoral KAJ. Kita berefleksi dan mengisi masa berahmat, retret agung masa prapaskah ini untuk memurnikan motivasi seluruh hidup dan kerja kita dalam terang iman untuk mengusahakan “Kesejahteraan Bersama” (Bonum Commune). Bahkan setiap insan ‘pekerja’ menjadi lebih mawas dengan setiap bentuk tanggungjawab dan kewajibannya untuk tidak egois atau mencari dan mengusahakan kepentingan sendiri, apalagi menjadikan entitas hidup yang lain sebagai ‘tumbal’ alias korban keserakahan manusia (bdk. Laudato Si, Paus Fransiskus). ‘Curhat’an dari dunia kerja dan liputan berikut kiranya membantu kita memboboti setiap bentuk kerja yang menjadi porsi dan tugas serta tanggungjawab kita masing-masing untuk mengusahakan kesejahteraan bersama.
Bu Adie (bukan nama asli) selain seorang ibu rumah tangga, juga sekaligus adalah seorang profesional di bidangnya. Berikut petikan ‘curhat’annya. ‘Kalau lihat temanya, sebagai pekerja kadang saya berpikir kerja untuk mencari nafkah, dan saya diingatkan Tuhan bahwa dengan bekerja kita menjadi "pelayan" Tuhan dan menjadi berkat bagi banyak orang... hehehe...’! “Dalam bekerja”, lanjut bu Ida, “selalu ada tantangan... mulai dari yang kecil sampai yang besar. bisa dari bawahan, atasan bahkan sesama rekan kerja. bagaimana mengatasinya? BERDOA. Buat saya pribadi, kuasa Doa sangat LUAR BIASA. kadang saya sampai takut kalau lupa berdoa untuk melakukan sesuatu...”, tutur sang ibu yang juga selalu menjaga keseimbangan hidup dan kerja untuk keluarga, gereja di Paroki Cikarang dan praktik profesional di tempat kerjanya saat ini. “Esse est servire” atau ‘Ada berarti melayani’, haruslah menjadi ‘spiritualitas’ atau nilai dan kebajikan setiap individu ketika beraktivitas kapan dan dimanapun, karena tugas kita adalah mewariskan budaya hidup penuh makna (baca: religius kultural) bagi generasi muda.
Ayah dari tujuh anak itu biasa dipanggil Buyet. Dia memilih meninggalkan kampung halamannya di Garut dan harus ‘mengais’ ke daerah/tempat lain demi istri dan anak-anaknya. “Saya datang ke Jakarta sejak tahun 2000, sekarang kami tinggal di Ciberem, desa Simpangan, Cikarang Utara. Pekerjaan saya adalah tukang sol sepatu keliling. Saya syukuri apa yang saya jalani serta berapapun penghasilan yang saya dapat, yang penting setiap saat bisa meneruskannya kepada istri untuk menafkahi ketujuh anak kami”. Kerja, demikian dihayati sebagai upaya optimalisasi diri untuk berkreasi, berinovasi di atas semua keterbatasan yang ada, mensyukuri potensi yang diberikan Tuhan dan membuatnya berguna bagi orang banyak.
Ternyata realitas hidup berkata lain. Tidak sedikit berita media massa hari-hari ini bercerita tentang penyalahgunaan profesi dan orientasi kerja yang hanya mencari kepuasan dan keuntungan sendiri, bahkan memperalat pihak yang lain. Misalnya, praktik perdagangan manusia dewasa ini belum berakhir. Aib kehidupan itu masih berlangsung terus dalam perdagangan manusia dewasa ini, khususnya perempuan dan anak-anak yang dipaksakan menjadi tenaga murah, pengemis, bahkan budak pemuas. Keserakahan mafia menghalalkan segala sesuatu yang membawa keuntungan besar. Ada praktik kejahatan terorganisasi yang tak hanya memperdagangkan narkoba, atau satwa yang terancam punah, tetapi juga organ tubuh orang miskin, bahkan orang miskin itu sendiri. Ekologi tidak utuh kalau kita berjuang melawan perdagangan hewan langka, tetapi diam tentang perdagangan manusia. Belum lagi berita media massa tentang pameran harta kekayaan dan praktik pencucian uang trilyunan oleh pihak-pihak tertentu, ganti mengusahakan kesejahteraan masyarakat luas.
Lewat surat gembalanya, Bapa Uskup mengajak segenap umat Katolik untuk memerangi perdagangan orang. “Perdagangan manusia adalah “satu dari antara kejahatan kemanusiaan yang paling besar, yang langsung berlawanan dengan cita-cita kesejahteraan bersama”, tandas Bapa Kardinal. Pihak-pihak yang rentan menjadi korban eksploitasi dan praktik perdagangan manusia adalah sesama saudara yang paling miskin, difabel, kaum wanita dari segala usia dan anak-anak, kaum migran, pengungsi dan sesama saudara yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis. “Bagi Gereja, perdagangan orang dan penyelundupan migran adalah “kriminal dan dosa berat karena melecehkan serta merusak martabat manusia”, tandas Bapa Kardinal. Atau seperti dikatakan oleh Paus Fransiskus, bahwa praktik perdagangan orang merupakan luka serius dalam masyarakat dan Gereja sebagai Tubuh Kristus (Konferensi Internasional melawan Perdagangan Manusia,10 April, 2014).
Kerja, Membangun “religius kultural” kiranya menjadi komitmen kita untuk mengusahakan hidup yang layak bagi semua makhluk, baik manusia dan alam semesta. Kita belajar menjadi saudara bagi semua orang tanpa ada praktik diskriminatif. Santa Teresa dari Kalkuta menjadi kudus di tengah orang-orang kecil. Dia membenarkan kata-kata St. Irenius, Gloria Dei Homo Vivens, atau ‘Kemuliaan Allah ada dalam diri manusia yang hidup. Semoga kitapun bisa menjadi anakanak Santa Teresa Kalkuta yang berani berkata juga, "Aku hanyalah sebuah pensil kecil di tangan Allah, Sang Penulis, yang sedang mengirimkan surat cinta-Nya kepada dunia." Dan hari ini, “Allah sedang menanti hasil tulisan/gambarmu di penghujung hari ini” (Sta.Teresa Kalkuta).
Penulis : Bruno Rumyaru - Tim Kontributor Kolom Katakese
Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa