Kerapuhan Manusiawi dan Optimisme Kristiani

Lingkaran liturgi telah membawa kita memasuki masa penuh rahmat, Masa Pra Paskah,  mendahului Minggu Suci yang berpuncak di Minggu Paskah, Hari Raya Kebangkitan Tuhan. Lebih dari sekadar ritual dan seremonial keumatan. Perayaan gerejawi ini menyasar romantika kehidupan masyarakat manusia, tak terkecuali kehidupan murid-murid Kristus jemaat perdana maupun citra iman kristiani kontekstual zaman ini.

Geliat kondisional hidup ini antara ‘jatuh’ (faktisitas hidup) di satu pihak dan ‘bangun’ (hidup transendental) untuk melangkah maju akan tetap mewarnai jalan ini. Yang pasti, Bunda Gereja setia menaungi kaumnya, melintasi kesengsaraan zaman, memberi pegangan untuk menghadapi tanda zaman pandemik dan memberi kesaksian tentang hidup mulia Tuhan yang menjadi awal dan akhir perjanjian-Nya dengan manusia.

Kerapuhan
Gerbang pintu masa Prapaskah telah terbuka. Kita memasuki masa persiapan Paskah ini dengan suatu reconscientia - penyadaran kembali melalui pesan ini, "Bertobatlah dan percayalah pada Injil" (bdk Mrk. 1:15) atau "Ingatlah bahwa engkau adalah debu, dan engkau akan kembali menjadi debu" (bdk Kej. 3:15), sambil imam atau petugas gereja menandai kepala atau dahi kita dengan abu.

Ritual gerejawi ini sarat makna, relevan serta tetap kontekstual bagi kita. Yang pasti, retret agung ini menyadarkan kita bahwa diri ini terbatas, rapuh, butuh kerendahan hati, dan jadi bagian dari kesengsaraan hidup dan fakta kematian. Maka tidak ada primordialisme diri dan kesombongan yang harus dipertahankan. Semua yang ada hanyalah simbol hidup faktual dan temporer. Tidak ada kekekalan duniawi. Musibah, bencana, kegagalan dan aneka ketakutan menghadapi tanda zaman pandemi berkepanjangan seakan memperingatkan bahwa ‘bahtera Nuh’ dan gelombang ‘air bah’ itu belum berakhir.

Perjanjian yang Hidup
Reconscientia Masa Pra Paskah mengembalikan kita pada kebaruan cara pandang bahwa jalan kehidupan ini adalah sebuah perwujudan perjanjian Tuhan dengan manusia semasa, sebagaimana yang difirmankan kepada Nuh. "Sesungguhnya Aku mengadakan perjanjian-Ku dengan kamu dan dengan keturunanmu, dan dengan segala makhluk hidup yang bersama-sama dengan kamu : burung-burung, ternak dan binatang-binatang liar di bumi yang bersama-sama dengan kamu, segala yang keluar dari bahtera itu, segala binatang di bumi” (Kej. 9:9-10).

Masa prapaskah menyadarkan kita tentang wujud perjanjian itu. Diri kita, hidup pribadi, dan sosial kita menjadi wujud perjanjian itu. Jaminannya adalah “Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh” (1Petr. 3:18).

“.… Roh memimpin Dia ke padang gurun” (Mrk. 1:12)
40 hari di padang gurun (bdk. Mrk. 1:13) membawa pengalaman tersendiri. Padang gurun menjadi arena pertentangan, medan perjuangan, tantangan keberpihakan hidup. Tetapi Roh itu telah memenangkan retret agung ini kiranya tetap membawa kebaruan hayati bahwa hidup kita berada di jalan perjanjian Tuhan.

“Maka Kuadakan perjanjian-Ku dengan kamu, bahwa sejak ini tidak ada yang hidup yang akan dilenyapkan oleh air bah lagi, dan tidak akan ada lagi air bah untuk memusnahkan bumi” (Kej.
9:11). Inilah pegangan kita, ini pulalah Roh (iman kristiani) yang (telah) memimpin kita ke padang gurun kehidupan ini dengan aneka tanda zaman yang ada; dan kita percaya bahwa seperti Kristus, demikian Roh yang sama akan memenangkan kita dari masa ‘padang gurun pandemi’ ini menuju Paska Abadi.

Demikian faktisitas hidup yang rapuh dan terbatas tidak harus membuat kita ‘terbelenggu’, karena telah digantikan optimisme kristiani. Selamat menjalani retret agung - masa prapaskah sambil meningkatkan ketiga aktivitas mulia : doa, puasa dan beramal.

Penulis : Bruno Rumyaru

Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa


Post Terkait

Comments