Karakteristik “Kita Adil, Bangsa Bermartabat”

Pesta Epifani atau Pesta penampakan Tuhan menjadi momen seremonial Pembukaan Tahun Keadilan Sosial 2020, dengan semboyan Amalkan Pancasila : Kita Adil, Bangsa Sejahtera. Bapa Uskup KAJ, Ignatius Kardinal Suharyo menyampaikan Surat Gembala kepada segenap umat Katolik yang tersebar di area KAJ. Mulai dari kelompok BIA, BIR, OMK, Lingkungan, ataupun kelompok kategorial di tingkat Paroki dan Keuskupan, mengadakan berbagai kegiatan untuk mengisi tahun Keadilan Sosial ini mengikuti panduan yang disiapkan Panitia Penggerak Tahun Keadilan Sosial KAJ 2020.

Kita diingatkan kembali untuk mengikuti dinamika pertobatan dan pembaruan diri terus menerus seperti dirumuskan dalam 3 kata majemuk : semakin beriman, semakin bersaudara,
semakin berbela rasa. Serta menghasilkan perilaku hidup yang terlibat dalam setiap usaha membangun kesejahteraan banyak orang.

Empat pilar berikut kiranya menjadi patokan untuk membangun dan sekaligus menilai kualitas “hidup-pribadi adil” yang kita wujudkan.

1. “Hidup-pribadi beriman”.
Kita tidak cukup hanya beragama. Kita perlu beriman dan meyakini setiap kata dan perbuatan kita berdasarkan iman yang kita anut. Tetapi beriman saja tidaklah cukup! Kita ingat kata-kata Rasul Yakobus : “Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan ? Dapatkah
iman itu menyelamatkan dia? Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: "Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!", tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati” (Yak.2:14-17).

2. “Hidup-Pribadi unitatif”
Bapa Uskup kita (KAJ) menulis, tanda bahwa seseorang beriman secara benar – bukan sekedar beragama – ialah kalau iman itu berbuah persaudaraan. Maka cara hidup atau pribadi yang adil adalah model hidup yang terbuka (inklusif) dan bersatu dengan yang lain (unitatif), seperti doa Yesus kepada Bapa-Nya, ‘Bapa yang kudus, Aku berdoa supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau di dalam Aku, dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga ada di dalam Kita.’ (Yoh.17:20).

3. “Hidup-Pribadi dedikatif”
“Tidak cukup toleransi, solidaritas lebih dibutuhkan dalam keadilan”, demikian judul sebuah tulisan (https://jendelanasional.id/headline/). Solidaritas yang sejati terjadi ketika kita rela mengorbankan kepentingan diri kita dan lebih mengutamakan kepentingan orang lain. Dengan kata lain keadilan membutuhkan keadaan lupa diri (selfless) bukan cinta diri (selfish).
Kata Yesus, “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. (Yoh.15:12).

4. “Hidup-Pribadi yang berkelanjutan”
Indikator lain untuk mengukur sikap hidup atau praktik keadilan adalah bersifat tetap atau berlangsung dan berkelanjutan (sustainable). "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya.(Mat.6:19).

Penulis : Bruno Rumyaru

Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa


Post Terkait

Comments