Jangan Bersungut-sungut

Makan “Daging” Yesus (Yoh. 6:51). Bagaimana hal itu dipahami? Spontan orang banyak di sekitar Yesus menolak, “Bagaimana Ia ini dapat memberikan daging-Nya kepada kita untuk dimakan.” (Yoh. 6: 52).

Mendengar komentar seperti itu, Yesus bukan mengoreksi pernyataan-Nya, malahan Ia semakin membuat penegasan: “… sesungguhnya jika kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya kamu tidak mempunyai hidup dalam dirimu.“ (Yoh. 6:53). Hal itu Yesus ulangi lagi tiga kali dalam ayat 54,55, dan 56. Ia seolah tidak mau berhenti mengatakan bahwa daging-Nya benar-benar makanan dan bahwa Dialah roti yang turun dari surga. Oleh karena itulah, banyak orang mengundurkan diri dari Yesus (Yoh. 6:66) karena menganggap perkataan Yesus adalah perkataan yang keras (Yoh. 6:60).

Terhadap reaksi orang banyak, Yesus berkata, “Jangan kamu bersungut-sungut” (Yoh.6:43). Ini sebuah signal atau indikasi dari Yesus bahwa kita harus membuka diri, tidak terpaku dalam pola pikir manusiawi kita. Yesus selanjutnya lalu mengalihkan pembicaraan perihal kebangkitan, “Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman”. (Yoh. 6:44).

Di sini kita dituntun melihat “Roti Hidup” atau “Daging” Yesus tidak lepas dari kebangkitan. Dalam konteks ini, harus disadari bahwa kebangkitan tidak bisa dilepaskan dari wafat Yesus. Yesus yang bangkit tidak lain adalah Yesus yang dulu bersama para rasul dan wafat di kayu salib.

Paralel dengan “Roti Hidup”, dalam perjamuan terakhir Yesus berkata, “Inilah Tubuh-Ku”. Saat itu Yesus masih hidup, bersama para rasul. Pemberian diri Yesus baru menjadi nyata dan tuntas pada keesokan harinya ketika Ia wafat di kayu salib. Dalam wafat itulah, kalimat “Inilah Tubuh-Ku” mendapat makna dan kemudian disempurnakan oleh kebangkitan.

Dengan kata lain, makan “Tubuh” ataupun “Daging” Yesus harus ditempatkan dalam perspektif wafat-kebangkitan Yesus. Itulah Ekaristi atau “pemecahan roti”. Memang secara historis, tak ada murid Yesus yang makan “Tubuh atau Daging” Yesus. Justru sebagai bagian dari penampakan-Nya setelah kebangkitan, Yesus “memecahkan roti” bersama para murid yang menyingkir ke Emaus (Luk. 24:30).

Kristus hadir secara “sakramental” dalam Ekaristi. Itulah iman Gereja Katolik yang kokoh menjaga warisan para rasul. Perintah Yesus “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Luk. 22:19), sungguh menjiwai jemaat perdana. Selain berkumpul tiap hari dalam Bait Allah bersama orang Yahudi yang lain, mereka rajin melakukan hal yang menjadi ciri khas baru mereka, yakni merayakan Ekaristi secara bergiliran dari rumah ke rumah (Kis.2:46).

Gereja sadar bahwa perintah “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” itu, bukan sekedar mengingat peristiwa masa lampau tentang Yesus, tetapi pertama-tama “menghadirkan kembali kurban salib”. Konsili Trente, sebagaimana dikutip dalam KGK 1367 menyatakan, “Dalam kurban ilahi ini, yang dilaksanakan dalam misa, Kristus yang sama itu hadir dan dikurbankan secara tidak berdarah.”

Bahkan dalam masa penganiyaan, orang Kristen secara sembuyi-sembunyi terus berkumpul merayakan Ekaristi. Tak jarang, gambar ikan (Yunani: Ikhthus) menjadi penunjuk pada tempat rahasia untuk berkumpul.

Mereka merasakan bahwa “Ikhthus” (yang mereka artikan sebagai: Iesous KHristos, Theou Uios, Soter = Yesus Kristus, Putra Allah, Sang Penyelamat) hadir secara sakramental dalam rupa roti dan anggur. “Jangan bersungut-sungut”. Sabda Yesus ini mengingatkan kita akan pribadi Bunda-Nya yang menyimpan segala perkara dalam hatinya dan merenungkannya (Luk. 2:19). Petrus dan jemaat perdana dalam Kis. 2:36 juga mengingatkan kita bahwa Kristus
sudah bangkit dan kini menjadi “Kirios” (Tuhan-Yang Mulia) dan Kristus (Juruselamat). Mari kita sambut kehadiran- Nya setiap saat, terutama dalam Ekaristi yang Dia perintahkan.

Penulis : Salvinus

Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa


Post Terkait

Comments