Tema “Iman yang membebaskan” di Hari Minggu Biasa IV menguak beberapa pokok refleksi yang menarik sejalan dengan pesan Kitab Suci mengikuti semangat “Tahun Refleksi” Keuskupan Agung Jakarta tahun 2021, “Semakin melayani, Semakin Terlibat, Semakin menjadi Berkat”.
Iman membangkitkan KetakwaanKita berpegang pada pemahaman bahwa iman tidak hanya menyangkut pengetahuan alkitabiah ataupun doktrinal gerejawi. Iman tidak dipahami sekadar kepercayaan dualistis, realita lahiriah dan batiniah. Inisiasi kristiani, sakramen baptis, sakramen ekaristi dan krisma menghadirkan keberadaan baru dalam hidup relasional dengan ciptaan yang ada, sesama dan dengan Tuhan sendiri.
Manusia mengakui dirinya sebagai ciptaan (tercipta), bagian dari alam semesta. Atas cara ini manusia tidak pernah menjadi ‘penguasa’ terhadap alam semesta yang ada. Bumi dan air serta segala yang ada maupun yang hidup, menjadi kelengkapan yang diciptakan bagi kehidupan manusiawi. “Lalu Tuhan Allah menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya; dan pohon kehidupan di tengah taman itu, serta pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat (Kej.2:9).
Kita patut berbangga dan bersyukur atas alam yang indah, tanah yang subur dengan segala kekayaan alam yang ada di atas permukaan bumi ataupun di perut bumi. “Semua pohon dalam taman ini boleh kau makan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati” (Kej.2:16-17). Perintah Tuhan itu jelas bagi manusia. Semangat ketakwaan membangkitkan pengetahuan yang benar tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.
Sikap ketakwaan kepada Bapa di surga, sama seperti Yesus, mengakui kekuasaan Bapa yang bekerja dalam diri kita, berkata-kata dengan penuh kuasa membawa ketakjuban (bdk. Mrk. 1:22) dan roh jahatpun tidak mampu menghalaunya (bdk. Mrk. 1:27).
Hidup relasional dengan sesama menjadi suatu relasi antar pribadi yang saling melayani. Manusia menjadi sahabat bagi saudaranya (homo socius) dan bukan sebaliknya menjadi serigala bagi sesama (homo homini lupus). Sikap ketakwaan yang benar melahirkan cita rasa hidup yang bermakna, saling menghormati perbedaan, kemajemukan menjadi kekayaan hidup, semangat toleransi, saling berbelarasa (compassion) kepada yang lain. Ketakwaan yang benar menarik orang dari kepentingannya sendiri (sentripetal) untuk lebih mengusahakan kepentingan dan kebahagiaan orang lain (sentrifugal).
Pesan Kitab Suci, “Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya” (1Kor. 7:32). Kebersamaan dan relasional tidak mengurung kita dalam egoisme dan kenikmatan, sebaliknya memungkinkan kita untuk memuliakan Tuhan.
Ketakwaan yang MembebaskanPraktik hidup relasional seperti dijelaskan diatas memberi cara pandang dan pemahaman baru tentang hidup beriman. Keberadaan hidup ini merupakan sebuah anugerah, atau pemberian bebas dari Tuhan kepada kita. “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buahdan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dlam nama-Ku, diberikan-Nya keoadamu. Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain” (Yoh. 15:16-17).
Keterikatan yang tidak membelenggu dan menjadikan hidup tertutup (eksklusif) serta primordialistis (merasa diri lebih hebat dari yang lain). Keberadaan relasional memungkinkan kita untuk membangun potensi dan kekayaan individual dan mengarahkannya untuk menopang hidup bersama dalam kepelbagaian. “Semuanya ini kukatakan untuk kepentingan kamu sendiri, bukan untuk menghalanghalangi kamu dalam kebebasan kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu melakukan apa yang benar dan baik, dan melayani Tuhan tanpa gangguan” (1Kor.7:35).
Penulis : Bruno Rumyaru
Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa