Injil Markus 12:28b-34 mengajak kita umat beriman untuk merenungkan jawaban Tuhan Yesus kapada seorang ahli Taurat yang menanyakan tentang hukum manakah yang paling utama. Menjawab ahli Taurat yang tahu banyak mengenai kutipan Kitab Taurat, Yesus memadukan perintah Kitab Ulangan (Bdk. Ul 6:5) untuk mengasihi Allah dan Kitab Imamat (Bdk Im 19:18) untuk mengasihi sesama. Injil Markus secara jelas menuliskan “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.”(Bdk. Mrk 12:30). Dan yang tidak kalah pentingnya adalah “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. ”(Mrk 12: 31a). Kemudian ditegaskan oleh Injil Markus “Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.” (Mrk 12:31b).
Di tengah tatanan adat istiadat, regulasi, peraturan, aneka hukum maupun protokol kesehatan, jawaban Tuhan Yesus menjadi pedoman dalam penghayatan dan pelaksanaan hidup beriman kita kepada Tuhan. Dengan begitu kita memiliki kepastian arah pilihan, tindakan dan prioritas karya yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Persoalannya seringkali umat beriman kurang menyadari dan mengandalkan prakarsa kasih Tuhan yang sudah lebih dahulu kita terima dalam pembaptisan. Dan rahmat kasih Tuhan itu masih perlu dimohonkan terus menerus sehingga menjadi darah dan daging kehidupan umat beriman. Dengan demikian umat beriman memiliki sumber kekuatan batin dan kehendak kuat untuk memegang teguh pedoman hidup hukum kasih yang diajarkan oleh Tuhan.
Kebiasaan praktik mengasihi Tuhan dan sesama memiliki bobot dan prioritas utama dalam kehidupan dan pelayanan umat beriman. Melalui pembiasaan praktik hukum kasih dalam keluarga, lingkungan dan masyarakat, Tuhan yang penuh kasih dan kerahiman semakin dirasakan dalam hidup sehari-hari. Pengalaman melakukan kesalahan, penyesalan dan pengalaman buah pengampunan mendidik umat beriman semakin hidup dalam hukum paling utama, yakni kasih kepada Tuhan dan sesama.
Dari kebiasaan mempraktikan hukum kasih tersebut, umat beriman sampai pada pengalaman “Ubi caritas et amor, Deus ibi est”. Ungkapan Bahasa Latin “Ubi caritas et amor, Deus ibi est” tersebut mengandung makna “Di mana ada cinta kasih di situ Tuhan hadir”. Perbuatan-perbuatan kasih akan menciptakan ruang dan atmosfer kesadaran akan kehadiran Tuhan yang sedang menyapa, berkarya di tengah-tengah kita. Melalui atmosfer kebiasaan praktik hidup penuh kasih kepada Tuhan dan sesama, Tuhan juga sedang mendidik anak-anak kita dan seluruh umat beriman.
Apabila kebiasaan praktik hukum kasih tersebut diterapkan dalam keluarga, itu berarti keluarga memberikan ruang keterlibatan ilahi dan kehadiran Tuhan dalam mendidik iman putra-putrinya. Pendidikan yang terlalu keras dan suasana otoriter berlebihan dalam keluarga dapat menjauhkan pengalaman iman akan keterlibatan dan kehadiran Tuhan. Sebaliknya, suasana nyaman penuh praktik kasih di mana Tuhan hadir akan membuat individu umat beriman di dalamnya semakin peka akan Sabda Tuhan dan kehadiranNya yang terus menggema dalam setiap peristiwa. Iman kemudian menjadi suatu pengalaman yang sangat berharga, yang terus tumbuh, berkembang dan diperjuangkan pada tiap sudut kehidupan.
Hukum kasih, oleh karenanya, menjadi pedoman yang meresapi hidup umat beriman. Ungkapan Bahasa Latin mengatakan: “In necessariis unitas; in dubiis libertas, in omnibus caritas”, yang berarti: dalam hal-hal penting atau pokok adalah kesatuan, dalam hal-hal yang meragukan atau tidak jelas adalah kebebasan, dalam segala sesuatunya adalah kasih”. Dengan demikian hukum utama yang diajarkan oleh Tuhan Yesus menjadi pedoman dinamis yang relevan setiap saat dan perlu dibiasakan melalui praktik hidup dan suasana keseharian umat beriman.
Penulis : Andreas Yumarma
Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa