Hidup Sesudah Kematian

Pada awal bulan November, kita telah merayakan Hari Raya Semua Orang Kudus (1 November) dan Hari Arwah Semua Orang Beriman (2 November). Kedua perayaan tersebut mengungkapkan secara indah ajaran Gereja tentang kematian: “… sebagai umat beriman kami yakin bahwa hidup hanyalah diubah, bukannya dilenyapkan; bahwa suatu kediaman abadi tersedia bagi kami di surga bila pengembaraan kami di dunia ini berakhir" (Prefasi Arwah I). Kematian adalah akhir kehidupan di dunia dan kita memulai perjalanan hidup yang abadi menuju kebahagiaan surgawi. Berkat persatuan dengan Yesus Kristus dalam pembaptisan (KGK
1003), kita berharap untuk dipersatukan dengan kebangkitan-Nya (Rm 6:5). Sebelum memperoleh kebahagiaan surgawi, kita akan mengalami suatu ‘pengadilan’ – Yesus akan melihat segala sesuatu yang telah kita lakukan dan yang tidak kita lakukan di dunia untuk kemudian membuat suatu keputusan untuk kita: surga, api penyucian, atau neraka (KGK 1020-1022). Tiga putusan tersebut bukan masalah tempat, melainkan situasi yang menghubungkan kehidupan manusia dengan Kristus.

Surga adalah tujuan hidup kita apabila mati dalam rahmat dan persahabatan Allah serta disucikan sepenuhnya, sehingga kita hidup selama-lamanya dengan Yesus Kristus (KGK 1023). Para malaikat dan orang kudus telah bahagia di surga karena mereka memasuki persekutuan kehidupan dan cinta bersama Allah (KGK 1024). Melalui kematian dan kebangkitan-Nya, Yesus “membuka” surga dan mengundang mereka, yang selalu percaya dan setia pada kehendak-Nya, untuk ambil bagian dalam kemuliaan surgawi (KGK 1026).

Api penyucian atau purgatorium merupakan proses pemurnian arwah orang beriman yang belum disucikan sepenuhnya agar dapat masuk ke dalam kegembiraan surga (KGK 1030). St. Gregorius Agung mengungkapkan bahwa beberapa dosa dapat diampuni di dunia ini yang lain akan diampuni di dunia lain. Berdasarkan keyakinan ini, Gereja menganjurkan untuk mendoakan arwah orang beriman agar mereka disucikan dan dapat memandang Allah dalam kebahagiaan (KGK 1032).

Neraka merupakan situasi pengucilan diri secara definitif dari persekutuan dengan Allah (KGK 1033). Beberapa kali Yesus berbicara tentang “gehenna”, yakni “api yang tidak terpadamkan” (Mat 5:22,29; Mrk 9:43-48) yang diperuntukkan bagi mereka yang sampai akhir hidupnya menolak untuk percaya dan bertobat (KGK 1034). Penderitaan neraka yang terburuk adalah perpisahan abadi dengan Allah karena hanya di dalam Dia terdapat kehidupan dan kebahagiaan (KGK 1035). Dari ajaran Gereja tersebut, sebenarnya kita diajak untuk mempersiapkan diri menghadapi saat kematian dengan menjaga kesucian hidup kita setiap hari. Kita pun memohon kepada Bunda Allah agar ia mendoakan kita “pada waktu kami mati” (doa “Salam Maria”) agar berkat kerahiman Allah kita dianugerahkan kebahagiaan di surga.


Penulis : Fr. Carolus Budhi P.

Sumber:
Petrus Danan Widharsana, RD. Victorius Rudy Hartono, “Bab 10: Kebangkitan Badan, Kehidupan Kekal” dalam Pengajaran Iman Katolik, hlm. 197-225; Katekismus Gereja Katolik.

Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa


Post Terkait

Comments