Dunia Remaja - Abah Ujang

Rodanya bergulir pelan. Di atas tegel licin trotoar jalan suara itu mengalir. Melaju si Bapak berambut semir, rapi tersisir. Kedua tangannya tampak erat menggenggam gerobaknya. “Hujankah ini ?” tanyaku dalam hati. Cemasku pasti ada penyebab. Bukan hujan, bukan semerbak, hanya suara si Abah yang mendorong gerobak. Suara gesekan bisik, tak dapatkah kau berbisik?

Geram aku dibuatnya, juga curiga. Lebih-lebih dari nyanyian ceracap gemercing. Ingin kumengatakan: “ Hei Abah, redalah sebentar, pikir ini sedang pusing dan raga ini sedang kering sebab pantang dan puasa yang mau tak mau harus kulakukan, tepat mulai hari ini, Rabu Abu."

Kupercepat langkah sepulang dari Gereja, mendekati gerobak hujan itu. Tak tahan lagi aku dengan suara gemuruhnya. “Punten, Abah. Ieu teh suarana gerobak,” tanyaku berlagak sopan. “Heeh, Kang. Emang begini suarana, maklum udah tua, jadina mah gini,” sambil melihat dahiku ia melanjutkan perkataannya, “Punten itu di dahina aya naon, Kang? “

“Oh, ini mah abu, Bah. Hari ini kan Rabu Abu.” “Dabu-dabu? Itu mah sambel kang,” jawabnya diikuti tawa kecil. Pem- bawaannya yang demikian halus lagi jenaka, meredakan rasa geramku. Aku terhipnosis aura kebapakan yang ia warisi. Mengapa pula harus kujelaskan tentang tanda abu yang seakan hen- dak memudarkan gelapnya ini. Lagian, untuk apa juga si Abah tahu?

Aku terdiam sejenak dan melihat tanda hitam juga di kepalanya. Ia pasti heran mengapa remaja sepertiku sudah mendapatkannya. Ibuku pernah bercerita bahwa tanda hitam itu timbul karena Sholat lima waktu yang taat. Apakah benar demikian? Singkatnya, aku menjelaskan tanda abu ini kepadanya.

Seketika itu, ia mengeluarkan cermin dari saku kiri kemejanya. “Cobalah lihat ke cermin ini. Apa yang kamu lihat?” tanyanya singkat. Aku melihat wajahku yang dibubuhi tanda abu di dahi, tak ada yang lain. “Akang lagi puasa?” tanyanya singkat.

Bukan hanya gerobaknya saja yang bergemuruh, tapi juga perkataannya. Mungkinkah tebakkan ini bermuara pada air mukaku? Kuselidiki lagi wajahku di cermin. Baru kusadari akan ekspresiku yang mendeskripsikan kehampaan, lemah, dan tak merdeka. Suara gemuruh terdengar lagi, mengiringi gerobak Abah berambut klimis, penjual siomay, yang belum sempat kutanya namanya itu.

“Oh, Abah mah langganan Ibu dulu, semenjak punya kamu,” jawabnya kepadaku sepulang dari perjumpaan singkat tapi mengesan itu, “Kata orang mah dia mulai pikun, jadi sering ditipu pelanggan yang menghutang.”

Sejak ibu melahirkanku, Abah menghilang dari desa, memudar begitu saja. Abah Ujang, begitu ibu memanggilnya dulu, pindah berjualan di kampung sebelah, atau malah tidak berjualan lagi sebab ia juga tak pernah bertemunya sejak sedekade lalu. Wajahnya menampakkan keheranan yang sudah kutahu asalnya. “Mengapa ia berjualan lagi?”

Keheranan ibu kubawa dalam tidur lelapku. Mengapa pula aku peduli sekali dengan lelaki tua berambut klimis itu? Pagiku terganggu dengan kosongnya bekal makanku. Inilah yang harus dipe- dulikan. Tak terisi dengan nasi, sayur, apalagi lauk-lauk hewani seperti biasa- nya. Sebuah arem-arem sajalah bekalku. Sebelum pergi sekolah, ibu memberiku uang − cukup sepuluh ribu rupiah, pecahan lima ribuan dua.

“Nuhun ya, Mah. Dede berangkat sekolah dulu,” ujarku sambil menempelkan dahiku pada tangan Ibu. “Eits... Tunggu dulu, Dede. Masukkan dulu selembar uang itu ke kotak APP ini,” ujar Ibu sambil seketika menyodorkan kotak putih itu.

Semua penderitaan ini begitu menumpuk-numpuk, bagai tumpukkan buku yang disentuh sedikit sudah jatuh. Melu- apkan rasa bagiku adalah tindakan yang nihil hasil, apalagi terhadap ibuku yang demikian ketat aturannya. Telah ia buatkan bagiku, sebuah kalender empat puluh hari yang bagiku isinya semata-mata penderitaan, atau istilah yang ibu sebut sebagai “mati raga” itu.

Perut berkeriapan lapar, sepulang seko- lah, kutelusuri jalan yang melewati teras toko kosong tak berpenghuni — tempat Abah menambatkan gerobaknya. Ku- perhatikan ia yang sedang menulis canggung di buku ungunya. Kali ini tidak dengan suara gemuruh hujannya, ia tidak ingin mengganguku katanya.

Masih dengan gerobak hujannya, ia mengunjungi para langganan barunya itu yang mayoritas anak-anak. “Abah, siomaynya dua ribu, campur, kecapnya yang banyak. Kasih bonus ya,Bah,” ujar seorang anak. Pantas saja siomay buatannya laku keras. Ia menyisipkan senyum pada kedua bola mata pembelinya. Keriput di wajahnya yang mulai nampak tak mengurangi ekspresi gelora muda Abah.

Aku tak bisa menyembunyikan raut mukaku yang lesu. Sambil melanjutkan langkah, kusapa Abah Ujang. Ia membalas sapaku dan kembali menebak bahwa aku sedang berpuasa. “Puasa kuduna mah gembira, bukan cemberut gitu atuh, Kang. Jangan sampai Abah menebak untuk kedua kalinya bahwa kamu lagi puasa.  Kalau puasa tidak berbuah dalam tindakan nyata, ya sama aja boong atuh. Persembahkanlah puasamu bagi dosa-dosamu dan sesama.”

Pembawaanya sejurus berubah. Wajah bijak merebak di balik gerobak siomaynya. Di balik sifat cerianya, tersimpan rapi sosok bijak kebapakan. Ucapannya melalu lembut begitu saja, tetap aku tidak suka semua ini.

Sejatinya, apa saja dosa-dosaku? Sepertinya tidak ada hal yang terlalu parah untuk dianggap sebagai dosa. “Dosa terbesar adalah merasa diri benar dan tak berdosa,” ujarnya padaku yang membuatku semakin terdorong untuk membuka satu per satu lembaran memori yang kupunya.

Kulihat karung putih di bawah gerobaknya yang selalu dibawa saat berjualan. Abah selalu saja menangkis penasaranku itu, seakan-akan itu bukan hal yang penting untuk ditanyakan.

“Yang terpenting sekarang mukamu sudah tak bisa Abah tebak lagi. Sebarkan senyum pada setiap orang. Puasa bukan masalah menjaga mulut, tapi menjaga ini,” ujarnya sambil menunjuk ke dadaku yang menyiratkan gerakan hati.

Hari ke-28 menurut perhitungan kalender yang disusun rapi oleh Ibu, kutatap arem-arem legit itu dan mulai menarik ujung-ujung bibirku ke atas. Senyuman yang kata Abah dapat mengubah paradigma. Kusantap arem-arem itu dengan bahagia, pakai piring dan sendok selagi bisa. Kulemparkan senyum pada Ibu yang menyodorkan kotak APP. Sebelum menyumbangkan uang, kusumbangkan senyumku, secara suka rela.

Hari ke-35 masih menyisakan penanggalan pra paskah yang mulai mengusam kena debu. Kali ini kurasakan hujan hadir menampakkan wujud dan nyanyiannya. Lekas-lekas, kumelesat pulang melewati teras toko kosong. Kerasnya benturan rintihan air terhadap permukaan bumi menyelimuti telinga. Tak lagi kudengar suara gemuruh gerobak siomaynya. Mungkin ia lekas pulang cepat — takut suara gemuruh gerobaknya kalah dengan suara gemuruh hujan.

Keceriaan anak-anak yang mengantre sambil mengusung-ngusungkan uang jajannya tinggallah bayangan khayalku. Senyumku tak menemukan muaranya — induk yang selama ini mereproduksi senyum. Senyum yang bukan sembarang senyum, melainkan senyum terhadap suatu yang tidak mengenakkan. Senyum yang membuat “mati raga” ku bermakna “hidup raga” dan berbuah.

Ornamen bertemakan Paskah memenuhi interior Gereja. Hari paskah tibalah sudah. Kalender ibu yang demikian rigid pun menemukan ujungnya. Tak ada ekspresi lain yang pantas menampakkan kebahagiaan mendalamku selain senyuman. Ingat senyum ingat?

Seorang anak mengarahkanku masuk agak ke dalam. “Punten, Kang. Apa benar Akang, Kang Dede?” tanya anak itu. Anak itu belajar dari ceritaku yang diceritakan oleh Abah. Ia, sambil memperkenalkan diri, adalah satu dari belasan anak yang hidup dari karung putih Abah yang berisikan belasan nasi bungkus hasil konkrit puasanya. Ia serahkan begitu saja buku ungu milik Abah dan melemparkan senyum kecilnya padaku. Ia memindahkan pot bunga yang selama ini menutupi bukti jejaknya.

“Siomay Ujang pindah ke sini,” begitu bunyi tulisan tangannya yang terisolasi pada dinding lembab toko itu. Kubaca sambil kubunyikan dalam hati yang kusadari merujuk pada diriku, hatiku. Ah, Abah ini hanya mengerjai aku, kesal. Lantas, kurobek itu kertas dan betapa terkejutnya aku bahwa tersimpan belasan surat yang ia selipkan pada robekan kertas itu bertuliskan:

“Selamat Paskah, Anakku...“

Sumber: Bumi Merto, 10 Maret 2019 Christofer Edgar Liauwnardo – Seminari Mertoyudan kelas 2

Sumber gambar: Dokumen Pribadi Warta Teresa


Post Terkait

Comments