Didamaikan dengan Allah dan Gereja

Melalui Sakramen Baptis, Krisma, dan Ekaristi, kita menerima kehidupan baru di dalam Kristus sebagai anak-anak Allah. Kehidupan ini kita bawa dalam “bejana tanah liat” (2 Kor 4:7), yang kerap kali dihadapkan pada godaan, cobaan, dan dosa. Itulah mengapa Tuhan Yesus menghendaki Gereja untuk melanjutkan karya keselamatan-Nya melalui Sakramen Rekonsiliasi. Ketika kita menerima Sakramen Rekonsiliasi, kita didamaikan kembali dengan Allah dan Gereja (KGK 1424, bdk. LG 11).

Dalam Perjanjian Baru, kita menemukan kisah Yesus yang mengampuni dosa dan menyembuhkan orang lumpuh (Mrk 2:1-12; Mat 9:1-8; Luk 5:17-26). Ia tidak hanya melakukan mukjizat penyembuhan, tetapi juga berkuasa mengampuni dosa manusia. Lalu, kuasa tersebut dilimpahkan Yesus Kristus kepada para rasul dan Gereja dalam Misteri Paskah: "Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yoh 20:21-23). Sabda Tuhan tersebut terwujud secara nyata dalam Sakramen Rekonsiliasi.

Sakramen Rekonsiliasi berasal dari kata penitentia secunda (Bhs. Latin) yang berarti pertobatan kedua setelah kita menerima baptisan sebagai pertobatan pertama. Praktek pertobatan dan rekonsiliasi dalam Gereja berkembang sejak abad awal Kristianitas dengan model tobat publik dan mengalami perubahan menjadi model pengakuan dosa pribadi pada abad ke-6 M.

Pada akhir abad ke-2 M, Tertulianus memberikan kesaksian mengenai model tobat publik atau tobat kanonik. Tobat publik diperuntukkan bagi seorang yang sudah dibaptis dan melakukan dosa berat (murtad, membunuh, dan berzina). Model tobat ini hanya bisa dilakukan sekali seumur hidup melalui tahapan : pengakuan dosa publik di hadapan jemaat yang dipimpin oleh Uskup, menjalani masa tobat dengan pergi dari jemaat dan melakukan wujud pertobatan (amal, puasa, olah rohani), dan upacara rekonsiliasi serta penerimaan kembali dalam jemaat oleh Uskup (lih. Martasudjita, 2003: 316- 317).

Model pengakuan dosa pribadi yang kita kenal sekarang berasal dari para rahib Irlandia pada abad ke-6 Masehi. Model tobat ini diterima oleh umat beriman dan cepat menyebar luas karena praktek ini lebih ringan. Awalnya, susunan tobat pribadi adalah : pengakuan dosa, menjalani masa tobat, dan absolusi. Seiring perkembangan waktu, terjadi kesulitan bagi pertemuan yang kedua agar imam memberikan absolusi kepada peniten. Susunan tobat pun diperbarui : pengakuan dosa, absolusi oleh imam, dan menjalani penitensi. Model tobat pribadi ini diterima oleh Gereja pada abad XIII dan diajarkan secara resmi melalui Konsili Lateran IV pada tahun 1215 (lih. Martasudjita, 2003: 317-319).

Dalam Audiensi Umum Rabu, 19 Februari 2014, Paus Fransiskus memberikan katekese mengenai perlunya kita menerima Sakramen Rekonsiliasi. Bapa Suci mengungkapkan bahwa mungkin saja seseorang berkata : saya mengaku dosa hanya pada Allah. Kita bisa saja mengatakan “ampunilah saya” kepada Allah dan mengungkapkan dosa-dosa kita, tetapi Bapa Suci mengingatkan bahwa dosa kita juga melawan saudara-saudari serta Gereja. Maka, kita perlu mengaku dosa di hadapan imam, karena seorang imam mewakili Allah dan Gereja.

Melalui sakramen ini, kita akan dirangkul oleh kerahiman Allah Bapa yang menerima kembali anaknya yang hilang (bdk. Luk 15:11-32). Semoga di Masa Prapaskah ini, kita semakin berani untuk menerima Sakramen Rekonsiliasi agar sungguh didamaikan kembali dengan Allah dan saudara-saudari kita.

Penulis : Fr. Carolus Budhi P

Sumber:
-. E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 312-319;
-. J. Dallen, “Penance, Sacrament of”, dalam New Catholic Encyclopedia Vol. 11, 2nd Edition (Detroit: Thomson Gale, 2003), 66-72; Katekismus Gereja Katolik;
-. Paus Fransiskus, Audiensi Umum, Rabu, 19 Februari 2014: http://www.vatican.va/content/francesco/en/audiences/2014/documents/papa-francesco_20140219_udienza_generale.html.

Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa


Post Terkait

Comments