Saudari/a ku yang terkasih,
Pada permenungan Minggu ini, dalam Injil Markus dengan sangat jelas menyampaikan pandangan dan ajaran Tuhan Yesus tentang Perkawinan Kudus, yakni perkawinan yang dikehendaki Allah adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan “menjadi satu daging”, yang tidak dapat dipisahkan oleh manusia. Yesus menegaskan bahwa “apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia” (ay.9). Perkawinan Katolik tidak hanya dilihat sebagai ikatan dua pribadi (laki-laki dan perempuan) atau ikatan dua keluarga atau ikatan sosial, tetapi sebuah panggilan hidup yang berasal dari Allah: panggilan untuk bersatu (unifikasi) dan menjadi rekan Allah dalam menghadirkan kehidupan baru (prokreasi). Ini pandangan dasar yang perlu dipegang, diamini, dan diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Karena Perkawinan Katolik itu salah satu Sakramen yang dikuduskan oleh Tuhan Allah kita.
Pernyataan ini mau mengoreksi pertanyaan orang Farisi yang berbicara soal “boleh atau tidak seorang suami menceraikan istrinya”. Mereka menggunakan pertimbangan pastoral Musa yang memberi “izin” menceraikan istrinya dengan membuat surat cerai untuk menegaskan status pihak wanita yang diceraikan, yang dipakai dalam situasi khusus. Tentu saja pola pikir ini dipakai dengan sengaja untuk “menjebak atau mencobai” Yesus. Mereka mengajukan pertanyaan itu agar mereka memiliki alasan untuk menghakimi Yesus, bukan murni dari pencarian mereka akan kemelut hidup yang mereka alami.
Saudari/a ku, dalam hidup tak jarang karena situasi konflik dan pergumulan yang tak kunjung selesai, beberapa pasangan bertanya: Apakah orang Katolik boleh cerai atau tidak? Pertanyaan ini sering kali kita dengan atau bahkan kita sendiri yang mengajukan. Kita tahu bahwa sampai saat ini ciri perkawinan Katolik adalah tidak mengenal cerai. Sebab apa yang dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia. Allah telah menguduskan pasangan tersebut untuk membangun keluarga Katolik yang dilandasi Cinta Kasih Allah sendiri.
Pandangan tentang perkawinan yang tak terceraikan ini tidak melupakan bahwa dalam kehidupan real perkawinan ada situasi-situasi berat dan tidak mudah karena berbagai macam alasan, entah karena kurangnya pengenalan pribadi, cara berpikir perkawinan duniawi yang berdasar pada cocok dan tidak cocok, masalah ekonomi, keluarga besar ataupun ketidaksetiaan salah satu pasangan. Gereja menyadari bahwa bahtera keluarga Katolik juga kerap dihantam berbagai badai. Karena itu, Gereja terus mengusahakan dan mendoakan agar keluarga-keluarga Katolik tetap berkomitmen dengan janji perkawinan.
Keputusan untuk memperbaiki dan membangun kembali perkawinan yang rusak adalah hal yang pertama dan utama kita usahakan. Kita diminta untuk secara kreatif mencari cara-cara yang mungkin dan membutuhkan kesabaran. Meskipun demikian, ada situasi-situasi khusus, Gereja juga menolong pasangan yang kesulitan untuk berdiscerment dalam mengambil keputusan yang terbaik dan mungkin, untuk menghindari keburukan yang lebih besar jika keputusan itu tidak diambil. Marilah kita berdoa untuk keluarga-keluarga agar senantiasa bertekun mewujudkan kehendak Allah, yakni menjaga kesatuan dan keharmonisan perkawinan atau hidup keluarga yang telah dikuduskan oleh Allah. Disinilah sakramentalitas perkawinan ditampakkan.
Tuhan memberkati.
Penulis : Rm. Antara, Pr
JavaScript diperlukan untuk pengalaman terbaik. Silakan aktifkan JavaScript di pengaturan browser Anda.