Daun Palma Dan Pilihan Hidup

Minggu lalu, lewat seorang perem- puan yang kedapatan berbuat zinah, kita mendapat pelajaran berharga dari Yesus tentang bagaimana menjadi “berhikmat”. Jauh dari kesan meng- ajar atau berkotbah Ia hanya menggunakan satu pernyataan untuk meng- ajak orang bertransformasi diri, “Ba- rangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melem- parkan batu kepada perempuan itu” (Yoh. 8: 7).

Selebihnya, Ia hanya membungkuk dan menulis di tanah (mungkin untuk menulis komentar orang-orang yang hadir). Tenang sekali, tanpa marah dan emosi, apalagi gerutu dan caci maki.  Namun hasilnya? Orang pergi seorang demi seorang mulai dari yang paling tua.  Kepada perempuan yang berbuat zinah pun, Yesus hanya meng- ajukan satu pertanyaan yang diakhiri dengan satu pernyataan peneguhan,  “Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang” 

Hari ini, kita kembali dibuat tercengang oleh sikap Yesus. Kendati tahu seperti apa hidup di depan-Nya, Ia tidak mengambil jalan lain. Berhadapan dengan Yerusalem, Ia tak gentar. Walau tahu bahwa kota yang dituju, tidak selalu sejalan dengan namanya  “heirosolyma” (Luk 19:28), atau “Ieru- syalom” alias kota damai, tetapi sering terjebak menjadi “Yeru-salem” (sehingga oleh penginjil Lukas diplesetkan  “Ierousalem” (Luk 9:51), Ia tak surut langkah.  Justru ke sanalah Ia mengarahkan pandangan-Nya (Luk 9:51). 

Perjalanan ke Yerusalem mengandung misi sekaligus sebuah pilihan hidup. Sekali diikrarkan (bdk Luk 4: 18-19), seumur hidup akan diperjuangkan.  Kerajaan-Nya bukan dari dunia ini. Hidup bukan soal enak atau tidak, tetapi visi atau misi. 

Begitulah, Ia memasuki Kota Yerusalem dengan suatu tindakan simbolik yang terencana. Jauh dari kesan gagah perkasa para raja pada umumnya, yang dikawal dengan pasukan berkuda ala perang, Ia justru naik keledai.  Pilihan-Nya jatuh pada keledai muda (Mrk.13:30; Luk.19:30; Yoh.12:140),  bahkan keledai betina  (Mat.21:2). Di sinilah letak salah satu pesan penting yang ingin disampaikan.

Romo Agustinus A Gianto SJ, seorang dosen eksegese atau tafsir Kitab Suci, dalam buku terbitan Kanisius “Membarui Wajah Manusia”, menjelaskan bahwa keledai sejatinya bukan hewan penurut, lagi tidak dapat berjalan cepat.  Menurutnya, keledai biasanya dipakai mengangkat beban dimana pemiliknya berjalan di depan mengarahkannya. 

Kalau Yesus mampu mengendarainya, maka Dia bukanlah orang biasa. Apalagi keledai yang masih mudah yang belum pernah ditunggangi orang,  tentu mengindikasikan tingkat keahlian dan kearifan tinggi peng- endaranya. Hal itu lebih terasa lagi  mengingat daerah sekitar Yerusalem dan Bukit Zaitun adalah daerah yang berbukit, kalau tidak bisa disebut sangat terjal dengan Lembah Kidron di tengahnya. 

Jadi, tampaknya Yesus ingin membawa pesan bahwa transformasi harus dimulai dari diri sendiri. Jalan sengsara (sebagaimana kita dengarkan baik sebelum tetapi terutama dalam bacaan panjang “passio” sesudah perarakan) berdimensi jalan kemu- liaan. Itulah juga dua sisi yang juga kita renungkan pada Minggu Palma.  Selain menyatakan keikutsertaan kita mengiringi perjalanan sengsara Yesus ke Yerusalem  (Yoh 12:13), daun palma juga menyiratkan harapan dalam plihan hidup.  Palma yang berdaun hijau menyatakan berakhirnya musim salju dan datangnya musim semi. 

Kini telah datang raja yang selain lembut juga mengatasi kelemahan dan kerapuhan manusia. Untuk-Nya, pakaian dihamparkan supaya Ia tidak menjejak tanah. Ia raja yang tak biasa.  Kepada-Nya orang membuka pakaian, lambang kehormatan dan harga diri.  Pilihan hidup tak selalu  diwarnai oleh yang indah tetapi itulah jalan harapan bahkan jalan kemuliaan, yang berujung pada Paskah.

Sumber: Salvinus T.M

Sumber gambar: Dokumen Pribadi Warta Teresa


Post Terkait

Comments