Melihat apa yang muncul di layar TV, Santo terus menerus memanggil ayah, ibu dan adiknya Tere. Begitu ayah muncul, Santo langsung berkomentar “Sejauh mata memandang hanya ada air. Lihat tu… orang di atas perahu yang berpakaian seadanya, penuh ketakutan. Oh... di sana ada yang berdiri di atas gundukan tanah menunggu penyelamatan. Jembatan roboh. Oh... itu tenda-tenda penampungan. Dua propinsi di bagian selatan bagaikan samudera yang luas. Bayangkan kalau ini terjadi di negara kita”.
Ayah dan Santo terus memperhatikan layar TV. Terlihat, banyak yang berteriak histeris, menangis. Keduanya terdiam cukup lama, kemudian kembali dalam percakapan. "Ayah baca dari berbagai sumber bahwa di awal September ini, hampir 1.400 orang yang meninggal, diperkirakan sejuta rumah yang luluh lantak, ratusan ribu ternak mati, jutaan hektar lahan pertanian terbenam banjir. Jembatan, jalan, bendungan rusak parah, termasuk situs bersejarah Mahenjo-Daro, salah satu pemukiman tertua di dunia. Malapetaka besar. Hampir 33 juta orang terkena dampaknya, tidak kurang dari sepertiga wilayah Pakistan terbenam banjir. Minggu-minggu dan bulan-bulan yang akan datang sungguh akan sangat berat bagi Pakistan. Pertama air minum dan makanan. Kedua, kesehatan. Pasti akan muncul berbagai macam penyakit” kata Ayah terbata-bata.
“Tadi dalam berita disampaikan bahwa Sabtu 10 September 2022 kemarin, Sekjen PBB sudah berkunjung ke sana. Dia menggambarkan luasnya lahan yang kena banjir sebagai tiga kali lebih luas dari negeri asalnya, Portugal. Dia juga bilang ‘I have simply no words to describe what I have seen today’. Gitu Yah kata Antonio Guterres”
“Dia ngomong gitu doang, tidak ada yang lain?” kata Ayah ingin tahu. “Tidak juga Yah. Dia minta supaya seluruh dunia memberi bantuan, terutama negara maju. Dia bilang bahwa negara-negara G20 menyumbang 80% gas emisi sementara Pakistan tidak sampai 1%. Pakistan membayar harga dari perilaku orang lain. Dia meratapi kurangnya perhatian dunia terhadap perubahan iklim yang ia istilahkan sebagai collective suicide alias bunuh diri massal. Jadi dia minta supaya ada upaya dari semua, terutama negara maju” kata Santo memberi jawaban.
“Bagus, betul itu. Ayah membaca bahwa banjir di sana disebabkan oleh monsoon rains, curah hujan yang tinggi sejak Juni, yang kadang tanpa henti. Ada propinsi dengan curah hujan 466%dibandingkan rata-rata tahunan dalam 30 tahun terakhir. Penyebab utama lainnya adalah rapidly melting glaciers, bekuan es yang meleleh begitu cepat di pegunungan bagian utara karena panas yang ekstrim. Jadi semua terkait dengan perubahan iklim. Paus Fransiskus sudah menegaskan hal itu dalam ensiklik Laudato Si. Saya kira Santo dulu ikut seminar tentang ensiklik ini” kata ayah kembali meminta penjelasan Santo.
“Tentang Laudato Si, keterangan harus dari ahlinya” kata Tere tiba-tiba muncul dari kamarnya. “Silahkan Ibu Ahli” kata ayah menimpali. “Perubahan iklim sudah ditekankan Paus sejak bagian pertama dari enam topik dalam Laudato Si. Kepada setiap yang hidup di planet bumi (bukan hanya anggota gereja) beliau meminta perhatian untuk melihat bumi sebagai rumah bersama, sehingga penting memberi perhatian kepada polusi, perubahan iklim, kelangkaan air, hilangnya keanekaragaman hayati selain perubahan iklim. Beliau menolak interpretasi Kitab Suci yang menempatkan manusia sebagai penguasa absolut atas ciptaan lain, tetapi yang diundang ambil bagian dalam karya Allah mengolah bumi dan melindungi bumi. Beliau melihat kian besarnya krisis ekologi karena kurangnya kesadaran dalam penggunaan teknologi serta penerapan teori ekonomi yang picik, jangka pendek. Karena itu beliau menawarkan pendekatan Ekologi Integral yang menempatkan manusia dalam kesatuan (saling tergantung) dengan alam ciptaan lainnya (LS 139). Apakah sudah dipahami?” canda Tere.
“Tetapi Bu Ahli, bukankah Paus juga bicara tentang hubungan negara berkembang dan maju?” tanya Ayah. “Pendengar sekalian. Paus mau supaya negara maju membantu negara berkembang sebagaimana diminta Pak Guterres. Keputusan ekonomi semua negara harus transparan dan mempertimbangkan kebaikan semua. Apakah jelas?” tanya Tere penuh senyum. “Bapak dan anak, semua semangat bicara ekologi. Tetapi jangan teori saja” kata Ibu muncul tiba-tiba. “Ibu mau bicara apa sih sebetulnya” kata Santo dengan nada protes.
“Gini, yang benar itu praktek. Dengarin. Di SBB, tanggal 29-30 Agustus lalu, ada retret ekologis yang diikuti 58 peserta dari daerah Toraja dan sekitarnya dengan fasilitator Rm Ferry SW dari Eco Camp Bandung. Retret diawali dengan sharing fasilitator tentang pemanasan global. Salah satu bahan sharing adalah tentang kadar CO2. Tahun 2009 kadar CO2 masih 387 ppm, tetapi tahun 2017 melonjak jadi 417 ppm. Saat ini beberapa daerah dibumi mengalami panas di atas 40 derajat Celcius. Disampaikan bahwa bila kadar CO2 mencapai 450 ppm, manusia tidak akan tahan lagi tinggal di luar ruangan, sementara menurut prediksi, ada kemungkinan tahun 2045 kadar CO2 mencapai 463 ppm”.
“Lalu apa yang mereka buat?” Tanya Tere.
“Sharing peserta. Ada peserta yang prihatin dengan ancaman kepunahan sejumlah spesies seperti capung. Teman Ibu di WA ini juga menyebut udang sawah dan ikan gabus yang dulu tersedia berlimpah. Lalu kemudian ada dialog dengan peran kakekcucu menyikapi kondisi yang ada. Muncul gambaran bahwa kakek sempat mengalami dunia yang masih bersih, indah, dan sejuk. Sungai dengan air jernih, hutan pohon yang hijau lebat, udara segar sampai ke dada. Lalu muncul seruan tidak menggunakan pupuk kimiawi. Mereka juga melakukan jalan salib sambil mencoba berdialog dengan alam. Kemudian mereka mencari solusi atas masalah plastik, sampah, pangan, dan rokok”.
“Oh keren? Tetapi SBB itu apa?” kata ayah kembali bertanya.
“SBB adalah nama singkat dari Sapak Bayo-bayo, sebuah lokasi yang sejak beberapa tahun terakhir dikembangkan menjadi tujuan wisata rohani. Namanya kini adalah Pusat Ziarah Keluarga Kudus Sa'Pak Bayo-Bayo. Lokasi dengan luas lahan sekitar 6 ha, itu rupanya asri. Di dalamnya ada sungai kecil mengalir di tengah hutan kecil dan gua-gua batu karst yang unik dengan stalagtik dan stalagmit. Ada sejumlah pohon unik, seperti pohon pangi atau kluwek atau kepayang, yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, antaralain diolah menjadi makanan sekaligus bahan bumbu rawon (buahnya). Pemilik pusat ziarah ini adalah Keuskupan Agung Makassar”.
“Ibu mau ke sana?” Tanya Santo penasaran.
“Pasti. Tetapi yang paling penting adalah mari kita juga memberi perhatian pada lingkungan kita seperti dijelaskan Ibu Ahli” kata Ibu tersenyum yang dikuti gelak tawa yang panjang oleh semua.
Penulis : Salvinus Mellese - Tim Kontributor Kolom Katakese
Gambar : Tribun Timur - TribunNews.com