Dua rumus yang biasa dipakai pada saat penerimaan abu di hari Rabu Abu adalah "Bertobatlah dan percayalah pada Injil" (bdk Mrk.1:15) atau "Ingatlah bahwa engkau adalah debu, dan engkau akan kembali menjadi debu" (bdk Kej.3:15).
Debu. Kita tahu apa yang kita maksud dengan kata itu: butir benda kering, kecil (dulu dianggap bagian terkecil sebelum orang mengenal atom atau partikel). Karena kecilnya, sering luput dari penglihatan, namun sering cukup mengganggu bila dibiarkan. Bukan hanya mengganggu, tetapi membuat segala sesuatu menjadi kotor, tidak menarik malahan menjijikkan. Tumpukan debu membuat lingkungannya menjadi kumuh, tak bernilai.
Tidak heran, dalam Alkitab, orang yang merasa bersalah di hadapan Allah “mendekatkan diri” atau mengidentifikasi diri sebagai debu atau abu. Menanggapi seruan pertobatan Nabi Yunus, Raja Niniwe turun dari singgasananya lalu duduk di abu menggunakan kain kabung ganti jubahnya (Yun. 3:6). Ayub menyesali tuduhan dan bantahannya terhadap Allah lalu “duduk dalam debu dan abu” (Ayb. 42:6). Kita jumpai pula, Hana menganggap diri hina dan menyebut diri “berada dalam debu”, sebelum ia melahirkan Samuel (I Sam.2:8). Abraham menyamakan diri “debu dan abu” setelah sadar bahwa ia terus menerus melakukan tawar menawar dengan Allah Yang Mahakuasa namun Maharahim (Kej. 18:27). Yosua dan para tua-tua Israel “menaburkan debu” di atas kepala sebagai tanda berkabung atas tewasnya sejumlah orang Israel dalam peperangan (Yos. 7:6).
Gereja Katolik merekatkan penerimaan abu dengan peristiwa iman paling penting dalam agama Kristen yaitu Kebangkitan Yesus atau Paska. Rabu Abu menandai awal masa persiapan Paska yang biasa kita kenal dengan nama “Masa Prapaska”, yang berlangsung selama 40 hari biasa (plus 6 hari Minggu).
Baik untuk diingat bahwa angka empat puluh sarat degan makna. Hujan lebat membawa air bah yang membinasakan bumi dan menyelamatkan keluarga Nuh berlangsung selama 40 hari dan 40 malam (Kej. 7:12). Musa berada di Gunung Sinai untuk menerima sepuluh perintah Allah selama 40 hari 40 malam Kel. 24:18). Yesus sendiri mengawali karya-Nya dengan memasuki retret di padang gurun, berpuasa selama 40 hari 40 malam (Mat. 4:2).
Kita juga akan memasuki masa puasa 40 hari dengan peringatan “dari debu dan akan kembali menjadi debu atau abu”. Sebelum ditiupi Roh Allah, manusia memang hanyalah debu (Kej. 2:7). Namun dalam Yesus, butiran kecil, kotor dan hina itu menjadi ilahi. Peristiwa “pengilahian” itu merupakan suatu proses, dan membutuhkan keterlibatan kita. Awal Masa Prapaskah adalah saat yang tepat mengenakan “salib abu di dahi” (atau mendapat tabur abu di kepala) sebagai masa berkabung sambil mengakui kelemahan, kefanaan dan kehinaan, seraya menyatakan tekad untuk menguburkan keinginan duniawi untuk dilebur dan diangkat dalam salib Kristus sendiri. Itulah arti puasa dan pantang yang sesungguhnya.
Adalah suatu ironi bila manusia mulai memandang diri sebagai dewa seperti diprediksi Prof. Yuval Noah Harari dalam bukunya “Homo Deus” (Manusia Dewa). Di saat Prof. Harari menyatakan bahwa manusia semakin mampu mengatasi penyakit pandemi dan akan fokus mengupayakan keabadian layaknya dewa (berkat kemajuan teknologi seperti AI dan dunia biologi), kondisi covid-19 saat ini dapat menjadi bantahannya. Lepas dari Allah, manusia akan hancur kembali menjadi debu. Kita boleh menyatakan bahwa kita lebih cerdas, lebih cemerlang dari generasi sebelumnya…. tetapi kita tidak boleh lupa bahwa di balik ke-genius-an itu, ada Allah sumber dan tujuan hidup manusia yang selalu menemani kisah manusia. Dengan kata lain, manusia hanya bisa menjadi homo deus (ilahi) yang sesungguhnya kalau mengakui “ke-debu-annya” di hadapan Allah.
Penulis : Salvinus
Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa