Cinta Untuk Rumah-Mu Menghanguskan Aku

Umum dipahami bahwa Yesus berkarya di hadapan umum selama kurang lebih tiga tahun. Salah satu alasan yang mendasarinya adalah dalam Injil Yohanes, selama masa karya-Nya di hadapan publik, Yesus mengalami tiga kali Paskah Yahudi. Paskah pertama terkait ziarah Yesus dalam Yoh. 2:13-25. Paskah kedua dapat kita temukan dalam Yoh. 6:4; dan yang terakhir adalah Paskah sekitar penyaliban Yesus sendiri (11:55).

Paskah pertama Yesus dalam masa karya-Nya di Yerusalem dalam Yoh. 2:13-25 sarat dengan makna “rasa memiliki”. Hal ini mengingatkan saya atas pemberlakuan aturan baru atas sewa barang terhitung mulai Januari 2020. Mengacu pada PSAK 73, aset dengan masa sewa lebih dari setahun dan tidak “bernilai rendah” (lebih dari 5.000 USD) tidak lagi diperkenankan dicatat sebagai barang “sewa operasi”. Sebaliknya barang sewa terkait akan dicatat dalam Laporan Posisi Keuangan (Neraca) sebagai “aset hak guna” pada satu sisi (disusutkan selama masa sewa), dan liabilitas sewa pada sisi yang lain.

Harta, aset, hak milik atau apapun namanya kalau dicermati mengandung sisi keseimbangan yang biasa kita kenal dengan kewajiban. Aset yang dilupakan atau tidak tercatat tidak akan menghasilkan apa-apa alias “idle” malahan bisa hilang. Indonesia, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani pada sebuah kesempatan kuliah umum di UGM 10 Oktober 2018, sempat kehilangan banyak aset karena tak adanya pencatatan barang milik negara sampai tahun 2006/2007. (link: https://www.youtube.com/watch?v=04pE5W8ZEyQ&t=2918).

Dalam Yoh. 2: 13-25 Yesus sangat gusar dengan cara orang “memiliki” Bait Allah. Mereka menggunakannya sebagai tempat dagang hewan dan penukaran uang. Boleh jadi mereka berpikir hal itu sebagai “wajar” karena mereka berdagang tidak melanggar aturan, hanya di bagian terluar Bait Allah, dan direstui Kayafas. Uang dari luar najis, tidak boleh dipersembahkan di Bait Allah sehigga peziarah perlu dibantu menukarkan uang najisnya untuk dapat dipersembahkan.

Berhadapan dengan situasi yang ada, Yesus yang baru memulai masa karya-Nya di hadapan publik, menyadari “kewajiban-Nya”: mengingatkan dan menyadarkan. Caranya? Terpaksa marah dan mengusir mereka.

Yesus tidak menyangkal bahwa “jual hewan korban” dan penukaran uang sangat dibutuhkan oleh para peziarah dari luar kota apalagi dari luar negeri. Yang menjadi masalah bagi-Nya adalah pelataran doa satu-satunya untuk orang non-Yahudi (gentiles) kini tidak lagi bisa dipakai untuk ibadah, sebab sudah sedemikian menjadi semrawut, penuh bau binatang yang menyengat apalagi disesaki pengunjung yang jumlahnya bisa mencapai lebih dari dua kali lipat penduduk Yerusalem. Yang paling mendasar, Yesus mencium bau amis pemindahan “lokasi dagang” ini dari Lembah Kidron ke dalam lokasi terluar dari Bait Allah. Selain mengepulkan asap korupsi juga membuat Bait Allah yang disebut Yesus sebagai “rumah Bapa-Nya” menjadi kehilangan makna dan tujuannya.

Upaya Yesus menunjukkan sisi “kewajiban” atas Bait Allah kepada orang Yahudi ternyata berujung pada “konflik” yang berkepanjangan. Yesus bukan tidak menyadari hal itu. Sebaliknya Ia tahu bahwa hidup-Nya sendirilah yang menjadi taruhan. Karena itu, Ia berani berkata, “Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan membangunnya kembali” (Yoh. 2:19). Cinta Yesus akan Bapa-Nya (serta segala hal yang berhubungan dengan Bapa-Nya seperti Bait Allah) melahirkan api cinta kewajiban yang menghanguskan rasa takut, termasuk bila cinta-Nya itu menghanguskan raga-Nya sendiri.

Penulis : Salvinus

Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa


Post Terkait

Comments