Kolom Katekese Paroki Cikarang memilih tema seputar “Bunda Maria dalam Kitab Suci” untuk menjadi pokok refleksi di bulan Oktober, bulan yang dibaktikan secara khusus untuk menghormati Bunda Maria. Bunda Maria menjadi pribadi istimewa di mata Tuhan dan di mata manusia.
Masih segar dalam ingatan kita, di tahun 2018 Keuskupan Agung Jakarta dalam rangka Tahun Persatuan memperkenalkan Bunda Maria Bunda Segala Suku dengan atribut khas Indonesia, Garuda Pancasila di dada, selubung kepala berwarna merah putih, dan di mahkotanya terdapat peta Nusantara, dengan harapan agar “umat berdoa untuk pribadi, umat berdoa juga untuk kebaikan negara” seperti ditandaskan oleh Bapa Uskup kita.
Maria “Ciptaan Baru” Indonesia “Bunda Maria Bunda Segala Suku” memang tidak tersurat dalam Kitab Suci kita, baik dari Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Kitab Suci tidak banyak bercerita tentang Maria. Hanya sedikit disebutkan tentang latar belakang serta kepribadiannya, sedangkan penampilannya sama sekali tidak disinggung. Namun, apa yang diceritakan Firman Allah tentang dirinya, sangat informatif, inspiratif dan kontekstual bagi kita.
Iman kita dalam Gereja tidak hanya bersumber pada kebenaran yang ditulis dalam Kitab Suci. Berhati-hatilah dengan informasi yang bertentangan dengan iman Gereja Katolik, dan menganggap bahwa segala bentuk penghormatan dan devosi serta aneka gelar kepada Bunda Maria dinilai tidak benar karena tidak Alkitabiah atau tidak terdapat dalam Alkitab. Bagi kita berlaku prinsip bahwa persekutuan umat Allah atau Gereja dibimbing oleh Roh Kudus melalui tradisi Gereja dalam “Kuasa Mengajar Gereja” atau “Magisterium”. Maka sumber kebenaran yang menjadi pegangan iman kita adalah Kitab Suci dan Tradisi.
Gereja mewartakan tentang kekayaan rohani yang tidak terbantahkan dari praktik devosional kepada Bunda Maria. Gereja menghadirkan Bunda Maria sebagai “Ciptaan Baru”di hadapan Tuhan dan manusia. Praktik devosi kebangsaan dengan menghadirkan “Bunda Maria Bunda Segala Suku” menunjukkan bahwa segenap umat KAJ mempercayakan kehidupan bangsa ini di bawah naungan Sang Bunda. Kehadiran Sang Bunda tidak hanya menjadi Bunda Allah (Theotokos) bagi segenap masyarakat, namun sekaligus menjadi “Ciptaan Baru” (Creata Nova) masyarakat Indonesia di hadapan Tuhan.
Maria “Ciptaan Baru” Alkitabiah
Kisah penciptaan biasanya dihubungkan dengan Perjanjian Lama tentang penciptaan langit dan bumi dan segala isinya, beserta kisah Adam dan Hawa (Kej. 1-2). Kitab Perjanjian Baru, khususnya Injil keempat menampilkan kisah “Ciptaan Baru” dan kehadiran Maria sebagai Hawa baru dihadapan Tuhan dan segenap umat manusia. Injil Yohanes (pasal 1-2) menubuatkan “Ciptaan baru” dengan menghadirkan Maria sebagai ‘Hawa’ baru dihadapan Tuhan dan bagi manusia. Sebutan kepada ‘Mesias’ oleh Yohanes (1:20) kiranya terjadi di hari pertama, Yoh.1:29, keesokan harinya …. menjadi hari kedua, Yoh.1:35 “pada keesokan harinya …” menjadi hari ketiga, Yoh.1:43, “pada keesokan .. hari keempat. Selanjutnya, Yohanes melanjutkan ‘kisah penciptaan’ itu dengan menulis, “Pada hari ketiga ada perkawinan di Kana yang di Galilea..”(Yoh.2:1), … inilah Hari Ketujuh dalam injil Yohanes.
Analogi hari ketujuh kisah penciptaan (Kej. dan Yoh.) ini sekaligus menjadi paradoks. Apa yang terjadi di hari ketujuh Kitab Kejadian dan Injil Yohanes ? Kitab Kejadian (2:23) menulis, “lalu berkatalah manusia itu, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki”. Injil Yohanes mencatat (2:4), “KataYesus kepadanya, “Mau apakah engkau dari pada-Ku ‘ibu’ (Perempuan – terjemahan Inggris Versi KJV dan bahasa Yunani). Yesus dan Maria berbagi daging yang sama, dan ‘Adam’ yang baru (Yesus) sekarang sudah memanggil (di hari ketujuh) ‘Hawa’ yang baru dengan sebutan “Perempuan”.
‘Hawa’ yang lama mendorong ‘Adam’ yang lama melakukan perbuatan jahat pertama kalinya (Kitab Kejadian). Sebaliknya pada Injil Yohanes, kita memperoleh pesan tentang Maria sebagai ‘Hawa’ yang baru yang mendorong ‘Adam’ yang baru (Roma 5:12 – 7:25) untuk melakukan perbuatan mulia untuk pertama kalinya. ‘Hawa’ (yang lama) percaya pada bisikan malaikat jahat dan karenanya membawa dosa dan kematian kepada segenap umat manusia. Sebaliknya Maria, ‘Hawa’ yang baru percaya dan dibimbing oleh Roh Kudus, dan karenanya ‘Hawa’ yang baru membawa rahmat dan harapan baru kepada seluruh umat manusia.
Demikianlah, Maria menjadi “Ciptaan baru” dalam penyelamatan manusia oleh Yesus Sang Adam baru. Maria juga diwartakan sebagai “Ciptaan Baru” karena menjadi ‘Hawa’ baru yang melahirkan kehidupan; Maria menjadi ibu dari para pengikut Yesus (Yoh.19:26) dan Bunda Gereja (LG, 56), Maria menjadi “Ciptaan Baru” menggantikan Tabut Perjanjian Lama, Maria menjadi Tabut Perjanjian Baru, meski tidak tersurat langsung, tetapi kita bisa membaca dan menyaksikan tandatanda yang diterima oleh Maria (Luk.1:35, Luk.1:43-56) (Bdk.https://luxveritatis7.wordpress.com).
Penulis : Bruno Rumyaru
Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa