Beriman bersama Teman-teman Difabel

Dalam perjalanan kehidupan kita saat ini sebenarnya ada saudara-saudari kita yang disebut sebagai penyandang Disabilitas. Mereka kaum difable dan tersingkirkan selalu ada di tengah kehidupan umat beriman, termasuk di paroki kita tercinta yaitu Paroki Cikarang Gereja Ibu Teresa. Apakah selama ini kita sudah memberikan dan menerima kehadiran mereka dengan penuh suka cita dari hati kita yang paling dalam? Kepedulian dan bela rasa yang tiap kali dikumandangkan dalam praktik beriman kadang terasa belum cukup memberikan ruang pengakuan terhadap kehadirannya.

Teman-teman difable dengan kondisinya yang berbeda-beda satu sama lain perlu memperoleh pendampingan khusus, karena tingkat disabilitasnya yang beraneka macam. Di satu pihak, iman teman-teman difable dalam kondisi tertentu harus diwakili oleh iman kedua orang tua. Ada pula beberapa teman-teman difable dengan kepolosan dan gerak tubuhnya (meskipun kesehatan mereka tidak sepenuhnya maksimal) mampu mengekspresikan doa-doa dan imannya. Di lain pihak, teman-teman difable dihadirkan Tuhan di tengah keluarga dan kehidupan umat beriman bagaikan Malai kat yang sedang menyampaikan pesan kabar gembira (bdk. Markus 6 : 12), undangan kepedulian, bela rasa, dan pesan-pesan iman lain seperti kesabaran, spiritualitas sumeleh yang mengandung kepasrahan dan keteguhan serta praktik kemartiran dalam hidup keseharian di kedalaman kalbu umat beriman. Melalui tatap mata, gesture, gerak wajah dan ekspresinya, mata iman kita sering kali mampu menangkap apa yang mau dan sedang disampaikan.

Legal standing penyandang disabilitas dalam UU No. 8 tahun 2016 tentang Disabilitas” oleh Anastasia Bintari Kusumastuti di Jurnal Magistra Law Review Vol.4 (1) 2023, menguraikan bahwa sejak kemerdekaan teman-teman penyandang disabilitas baru mulai mendapatkan pengakuan hukum keberadaannya pada UU No. 4 tahun 1997. Itupun masih menggunakan sebutan “penyandang cacat” sebagai obyek sasaran belas kasihan. Baru pada UU NO.8 Tahun 2016 posisi hukum penyandang disabilitas bergeser sebagai subjek hukum dengan martabat dan hak asasi manusianya yang memperoleh pengakuan hukum secara tepat dengan sebutan “penyandang disabilitas”. Semangat UU No.8 tahun 2016 di Indonesia tidak bertentangan dengan iman kita, sehingga sebagai umat beriman kita berjalan bersama dengan penyandang disabilitas dalam kehidupan dan pelayanan.

Sama seperti manusia pada umumnya, kaum disabilitas memiliki kebutuhan rohani yang harus dipenuhi, Yesus memberikan teladan dalam pelayanan-Nya, bahwa Dia dekat dengan umat semua yang rindu dan haus akan kebutuhan rohaninya. Kebutuhan rohani kaum disabilitas secara khusus dan umat pada umumnya tentu saja tidak dapat dilepaskan dari peran Gereja.

Dengan demikian kita umat beriman yang dianugerahi kondisi yang baik menjadi lebih seimbang dalam praktik kepedulian dan bela rasa berjalan bersama teman-teman penyandang disabilitas dan keluarganya. Kesaksian orang tua teman-teman penyandang disabilitas, kesabaran dan keteguhan imannya sering kali menjadi contoh bagi umat beriman untuk senantiasa bersyukur, berbagi, teguh beriman dan menempatkan diri sebagai temanteman seperjalanan di dalam kehidupan. Beriman bersama teman-teman difable, kita umat beriman sedang belajar Bahasa Cinta Tuhan dalam hidup keseharian. Semoga kita semua yang sedang dalam perjalanan dalam kehidupan dunia nyata ini semakin lebih bisa mencintai mereka dengan penuh suka cita dan hati gembira serta bersyukur dalam segala hal.

Penulis : Anastasia Bintari Kusumastuti - Tim Kontributor Kolom Katakese

Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa


Post Terkait

Comments