Sentra Hidup Solider yang Sehat dan Prinsip Subsidiaritas

Mengasihi, Peduli, Bersaksi sebagai wujud Penghormatan Martabat Manusia telah ditetapkan sebagai tema besar gerak maju 5 tahunan (2022-2026) hidup dan karya pastoral Gereja Katolik Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Semangat ini memberi inspirasi bagi semua pihak dalam “Tubuh Gerejawi” ini untuk membangun Arah Dasar reksa pastoral gerejawi di tengah masyarakat konkrit) wilayah Keuskupan Jakarta ataupun dalam kepeduliaannya kepada segenap masyarakat luas.

Reksa patoral gerejawi KAJ telah sampai ke tahun ketiga dengan Arah Dasar (ArDas) Solidaritas dan Subsidiaritas di sepanjang tahun gerejawi 2024 ini. Spiritulitas tahunan ini menginspirasi semua pihak sesuai posisi dan tanggungjawabnya untuk bertindak untuk dirinya maupun kepada/bersama orang banyak dan masyarakat luas.

Hidup Terbuka dan Mempersatukan, Asalnya dari Tuhan dan Kembali Kepada Tuhan
Sentra hidup solider yang sehat dihayati dan dibangun atas dasar kesadaran bahwa hidup dan kehidupan yang kita bangun adalah “gerakan hidup terbuka dan mempersatukan”. Gerakan berupa usaha, tidak hanya berbentuk niatan tetapi praktik hidup nyata beserta hasilnya. Keyakinan ini bersumber pada ‘gerak hidup terbuka’ (baca hidup solider) dari Tuhan sendiri. “… yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia (Filipi 2: 6-7). Maka Tuhan sendirilah yang memulai ‘membagikan’ hidup-Nya, menyatakan Diri dan kehendak-Nya dalam dan melalui Yesus Kristus, yang sungguh Allah dan sungguh manusia.

Yesus sendiri adalah perwujudan kehendak Allah itu. Dan kehendak Allah itu yakni Yesus Kristus itu adalah sempurna, gamblang dan jelas bagi manusia. Dengan kata lain, Yesus Kristus adalah gambaran Allah yang kelihatan, Allah yang berkenan membuka diri-Nya dan segenap kehendak-Nya. Maka kepada kita, kata-kata Yesus ini sangat jelas, “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup: tidak ada manusia yang datang kepada Bapa, tanpa melalui Aku'" (Yohanes 14:6). Di tempat lain, penginjil keempat ini juga mencatat kata-kata Yesus, "Segala perkataan yang Aku katakan kepadamu adalah roh dan kehidupan" (Yohanes 6:63). Inilah model hidup terbuka dan mempersatukan sebagai sisi balik dari model hidup tertutup dan mencerai-beraikan. Model hidup yang terakhir ini tidak menghasilkan entitaskeberadaan hidup yang lain sebagai subyek yang eksklusif (tertutup), dan akan mencerai-beraikan dan tidak menghasilkan subsidiaritas yang diinginkan banyak orang.

Tiga (3) Sentra Hidup Sehat Lahir Batin
‘Sentra’ diartikan sebagai tempat yang berada di tengah, (pusat kota, pusat industri, pusat energi), jadi titik pusat, sentral (Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI). Sentra menjadi utama (sentral) atau titik temu dari bagian-bagiannya. Sentra menjadi poros untuk mengaktivasi bagian-bagiannya. Demikian dalam hidup ini manusia harus memiliki ‘sentra, pusat, poros’, dari poros ini kita mendapatkan ‘nutrisi-suplemen-gizi’ yakni kekuatan dan keutamaan/kebajikan yang dibutuhkan tubuh fisik dan sekaligus membuat hidup ini ‘tahan banting’ terhadap ‘gelombang dan badai zaman’ ini. Maka semakin kita mengandalkan dan secara intensif berpegang dan bersandar pada ‘sentra-pusat’ ini maka semakin banyak akan kita timba; memiliki banyak ‘nutrisi’ alias kebajikan/keutamaan (virtues) yang pasti mendukung, memelihara dan mengarahkan hidup duniawi (visible life) kepada hidup surgawi (invisible–eternal life). Ada tiga sentra yang diajarkan sebagai nobles activities (kegiatan/ praktik luhur/mulia) karena daripadanya kita mendapatkan apa yang  diri/hidup ini butuhkan. Ketiganya penting dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiga sentra hidup sehat lahir batin itu adalah sebagai berikut!

Beribadah (Worship)
Setiap orang melakukan ibadah dan sembahyang. Agama dan tradisi religius modern tidak menggantikan praktik ibadah, sembahyang, dan doa, yang sudah dikenal dipegang teguh orang banyak. Beribadah atau berdoa setiap saat bukan untuk dilihat dan dipuji oleh orang lain, Sebaliknya, kita beribadah untuk meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan, bersyukur atas segala kuasa dan penyelenggaraan-Nya dalam hidup kita, memuliakan keagungan-Nya, mohon ampun atas segala salah dan dosa kita, berdamai lagi dengan Tuhan, sesama dan diri kita, serta aneka macam kebajikan hidup yang bisa kita dapatkan melalui tekun beribadah secara pribadi, keluarga, lingkungan kecil pun lingkungan umat banyak. Dampak dari setia dan tekun beribadah maka kita semakin rendah hati, selalu insyaf bahwa bukan diri saya yang besar dan lebih hebat dari keberadaan orang lain, sebaliknya sadar bahwa hanya Tuhanlah yang Agung dan mengatasi semuanya. “Jangan menyembah berhala, berbaktilah kepada-Ku saja, dan cintailah Aku lebih dari segala sesuatu” (Kej. 
20:1) Katekismus Gereja Katolik (KGK, 2084) mencatat, “Allah membuat diriNya dikenal dengan mengingat tindakan-Nya yang penuh kasih, dan membebaskan yang mahakuasa dalam sejarah orang yang Ia tuju: "Aku membawa kamu keluar dari tanah Mesir, keluar dari rumah perbudakan." Kata pertama mengandung perintah pertama dari Hukum Taurat: "Bertakwalah kepada TUHAN, Allahmu; Anda harus melayani Dia... Jangan mengejar dewa-dewa lain."Panggilan Allah yang pertama dan tuntutan yang adil adalah agar manusia menerima Dia dan menyembah-Nya”.

Bersedekah, atau Berbagi Kasih (almsgiving)
Adalah tindakan untuk melepaskan keterikatan pada kepentingan diri sendiri dan menjumpai orang lain sebagai subyek atau sesama manusia. Manusia didorong untuk bersedekah, bisa berbagi kepada sesama baik yang dikenal maupun tidak dikenal, bukan untuk dilihat atau dipuji orang lain. Kebajikan dan keutamaan hidup di balik tidakan bersedekah adalah hidup solider, peduli, peka, altruis dan lupa diri (selfless), tidak egosentrik serta aneka kebajikan hidup lainnya yang dapat kita timba dari sikap berbagi kepada yang yang membutuhkan pertolongan kita. Kitab suci sendiri mencatat, “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan  nyawanya; dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehny”(Mat.10:39); atau di tempat lain tertuli, ”Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah!”(Kis.3:6).

Berpuasa (fasting), tahan diri, mati-raga, membatasi diri untuk tidak melakukan hal-hal tertentu, atau mengurangi kadar pemakaian atau konsumsi yang berlebihan. Tindakan berpuasa tidak hanya dilakukan sepanjang bulan/masa puasa; sebaliknya bisa dilakukan setiap saat untuk bisa mengendalikan diri dari kerakusan, ketamakan. Dengan berpuasa yang baik maka keutamaan hidup yang bisa kita miliki adalah, tahan diri, hidup disiplin, hidup sehat, hidup teratur dan lain sebagainya. Maka sikap berpuasa menunjuk kepada semangat disiplin demi maksud rohani tertentu. Sekalipun berpuasa sering dikaitkan dengan doa, namun puasa harus dipandang sebagai suatu tindakan rohani tersendiri. Sebenarnya, berpuasa dapat disebut "berdoa tanpa mengucapkan kata-kata". Alkitab menunjuk tiga bentuk puasa, yakni puasa yang biasa: berpantang semua makanan, baik yang keras maupun yang lembut, tetapi tidak berpantang air (bdk. Mat.4:2); puasa sepenuhnya: tidak makan dan tidak minum (Est. 4:16; Kis. 9:9). Pada umumnya puasa semacam ini tidak harus dilaksanakan lebih lama daripada tiga hari. Tubuh seseorang mulai menjadi kering apabila tidak mendapatkan air selama lebih dari dua hari. Memang Musa dan Elia melakukan puasa sepenuhnya selama 40 hari, tetapi saat itu mereka berpuasa dengan keadaan yang adikodrati (Kel 34:28; Ul 9:9,18; 1Raj 19:8). Puasa jenis ketiga adalah puasa sebagian: pembatasan makanan dan bukan tidak makan sama sekali (Dan 10:3). Kristus sendiri melakukan disiplin ini dan mengajarkan bahwa berpuasa hendaknya menjadi sebagian dari pengabdian orang Kristen kepada Allah dan suatu tindakan persiapan untuk kedatangan-Nya kembali (Mat 9:15).

Puasa yang baik dan benar adalah dengan doa yang intensif. Puasa model ini memiliki beberapa tujuan (https://alkitab.sabda.org), sebagai berikut :
(a) menghormati Allah (ayat Mat 6: 16-18; Za 7:5; Luk 2:37; Kis 13:2);
(b) merendahkan diri di hadapan Allah (Ezr 8:21; Mazm 69:11; Yes 58:3) agar lebih banyak mengalami kasih karunia (1Pet 5:5) dan kehadiran Allah yang khusus (Yes 57:15; Yes 58:6-9);
(c) meratapi dosa dan kegagalan pribadi (1Sam 7:6; Neh 9:1-2);
(d) meratapi dosa-dosa gereja, bang sa, dan dunia (1Sam 7:6; Neh 9:1-2);
(e) mencari kasih karunia untuk tugas yang baru dan menetapkan kembali penyerahan kita kepada Allah (Mat 4:2);
(f) mencari Allah dengan mendekati Dia dan bertekun di dalam doa melawan kuasa-kuasa rohani yang menentang (Hak 20:26; Ezr 8:21,23, 31; Yer 29:12-14; Yoel 2:12; Luk 18:3; Kis 9:10-19);
(g) menunjukkan pertobatan dan dengan demikian memberikan kesempatan kepada Allah untuk mengubah maksud-Nya menghukum kita (2Sam 12:16,22; 1Raj 21:27- 29; Yer 18:7-8; Yoel 2:12-14; Yun 3:5,10);
(h) menyelamatkan orang dari kuk kejahatan (Yes 58:6; Mat 17:14-21; Luk 4:18);
(i) memperoleh petunjuk dan hikmat mengenai kehendak Allah (Yes 58:5-6,11; Dan 9:3,21-22; Kis 13:2-3);
(j) mendisiplinkan tubuh agar dapat menguasai diri (Mazm 35:13; Rom 13:14; 1Kor 9:27);
(k) membuka jalan bagi pencurahan Roh Kudus dan datangnya Kristus kembali untuk umat-Nya 

“Aku Menyebut Kamu Sahabat” – Subsidiaritas Hidup
Kata Yesus, “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku” (Yoh. 15:15). Akhirnya, haruslah dicatat bahwa sikap hidup solider, kesediaan untuk terbuka dan bersatu (baca: hidup bersama) dengan yang lain (sesama pun entitas yang ada) secara positip karena dibangun atas dasar ketiga sentra hidup sehat di atas maka diri dan hidup ini menjadi entitas utuh dan memiliki daya dari dalam dirinya sendiri, memiliki kepercayaan diri yang teguh,hidup mendalam (insight), tidak gampang terpengaruh alias tidak “plonga-plongo”. Yesus menyebut para murid-Nya “sahabat’ dan bukan hamba, karena segala sesuatu dari Bapa telah diajarkan dan dicontohkan bagi para pengikut-Nya. Kata Yesus, “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Yoh. 13:13-15).

Penulis : Bruno Rumyaru - Tim Kontributor Kolom Katakese

Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa


Post Terkait

Comments