Di paruhan kedua abad kedua puluh, ketika orang masih menulis surat dengan tangan dan mengirimnya lewat kurir pos, pada umumnya menerima surat adalah suatu kegembiraan yang luar biasa. Apalagi kalau surat itu berasal dari sahabat pena. Melihat sampulnya saja yang berwarna pink, bibir langsung merekah tersenyum dan hati berbunga-bunga. Sekarang ini, di zaman yang serba instant dan elektronik, pada umumnya menerima email dan WA adalah sebuah kecurigaan. Belum melihatnya saja bibir mulai terasa kaku, hati mulai terasa gelisah dan banyak pikiran buruk beterbangan. Pertanyaan mendasar ialah: apakah orang masih bisa menjadi pensil dan surat cinta bagi sesama?
Segenap umat Paroki Cikarang tentu sudah tidak asing lagi dengan kata-kata mutiara Bunda Teresa: “Aku adalah pensil kecil di tangan Allah yang sedang menulis, yang mengirim surat cinta kepada dunia.” Gereja Universal dan Bunda Teresa mengajak kita sekalian pada tahun ini untuk memusatkan perhatian pada kata CINTA. Kata ini adalah kata yang paling utama dalam Injil Yo- hanes. Karena Allah adalah cinta/ kasih. Dan nama Yohanes itu sendiri berkaitan dengan kata cinta/kasih. Dia adalah murid yang dikasihi Yesus. Yohanes berarti Kasih Karunia Allah. Allah adalah kasih karunia. Penginjil Yohanes menegaskan: “Dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia” (Yoh 1:16). Siapa-siapa saja yang telah menerima kasih karunia dalam Injil Yohanes? Pertama ialah Yohanes (Pembaptis). Kedua ialah Simon Petrus anak Yohanes. Ketiga Yohanes (Penulis Injil).
Akan tetapi, siapakah yang memiliki kepenuhan kasih karunia yang darinya dicurahkan kepada ketiga orang Yohanes itu? Yesuslah yang memiliki kepenuhan kasih karunia Allah. Yesuslah Yohanes dalam arti yang sebenarnya. Yesus adalah Allah. Dialah kasih karunia. Dialah cinta itu sendiri. Karena begitu besar cinta kasih Bapa kepada dunia, maka Ia mengutus Anak-Nya sendiri ke dalam dunia. Bacaan Injil hari Minggu beberapa minggu lalu Yesus membersihkan Bait Allah dan berkata: “Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku.” (Yoh 2:17). Sebagai bangunan, Bait Allah,
Rumah Bapa adalah tempat pinggiran dari cinta Bapa. Tempat pusat cinta Bapa adalah pribadi Anak-Nya, Anak Allah, Anak Manusia. Itu sebabnya Yesus menyuruh merombak Bait Allah itu dan Ia akan membangunnya dalam tiga hari agar orang-orang Yahudi tahu di mana pusat cinta Bapa.
Pada hari ini kita merayakan perombakan Bait Allah itu dengan kebangkitan Yesus. Rumah Bapa ini sudah lebih dahulu dibuka pintu-Nya oleh tombakan serdadu pada lambung/HATI Yesus, sehingga setiap orang yang lewat boleh memandang Bapa yang berdiam di HATI Yesus, darimana Yesus sendiri pada awalnya datang dari situ (Yoh 1:17: “Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya”).
Selanjutnya, kebangkitan Yesus diantisipasi oleh kebangkitan Lazarus. Apa makna dari kebangkitan Lazarus? Maknanya ialah serusak-rusaknya daging manusia sampai berbau busuk seperti Lazarus yang masih hidup, yang berebut makanan dengan anjing-anjing piaraan orang kaya sambil anjing menjilat boroknya dan Lazarus saudara Marta dan Maria yang sudah berbau busuk dalam kubur, tetap mereka adalah anak manusia, anak Allah, rumah Bapa, pusat cinta Bapa. Allah tetap tinggal di situ. Cinta Allah tidak dibatasi oleh sakit dan kematian.
Kalau Bunda Teresa berkata bahwa ia adalah pensil kecil tentu itu tidak berarti bahwa ia akan menjadi penulis surat yang ulung, pujangga gereja. Ia hanya mengibaratkan dirinya sebagai pensil kecil cinta Allah yang sedang menulis surat cinta kepada dunia, teristimewa kepada orang-orang yang menderita kelaparan cinta. Mereka itu adalah Lazarus-lazarus yang bergelimpangan di jalan-jalan di Kalkuta, India.
Solidaritas apa yang ditunjukkan oleh Bunda Teresa kepada mereka? Memberi mereka tumpangan, pakaian dan makanan? Ibu penting. Tetapi itu hanyalah ungkapan pinggiran dari cinta Bunda Teresa. Bunda Teresa terkenal karena ia memberikan senyum kecilnya kepada mereka. Senyum adalah ungkapan cinta pribadi. Senyum itulah yang membangkitkan harapan hidup orang-orang papa bahwa mereka tetap dicintai Allah, sekalipun diperhatikan dan dibuang oleh dunia. Dari senyumlah orang tergerak tangannya untuk memberikan tumpangan, pakaian dan makanan kepada orangorang miskin. Lebih daripada itu, dari senyumlah Bunda Teresa menyadari bahwa ia sedang melayani Allah yang hidup dalam orang-orang miskin ini. Dan sebetulnya, pada akhirnya disadari oleh Bunda Teresa bahwa bukan hanya dialah yang sedang melayani Bapa dalam rumah-Nya, melainkan Allah Bapa yang sudah lebih dahulu dan sekarang sedang melayani dan menyambut Bunda Teresa dalam rumah-Nya. Mereka saling tersenyum. Inilah spiritualitas kemiskinan tertinggi Bunda Teresa.
Akhirnya, kita diajak oleh Bunda Teresa menjadi sahabat pena cinta. Senyum Bunda Teresa tetap bermakna bagi kita sekarang ini, yang barangkali muka kita kusam, bibir kita mengering karena begitu sibuknya dengan segala alat komunikasi sosial elektronik dan mengejar hal-hal pinggiran yang menjadi lawan dari cinta. Barangkali itu adalah BENCI/KEBENCIAN? Seperti dikatakan penginjil Yohanes: “Mereka membenci Aku tanpa alasan.” Pokoknya manusia menolak saja cinta Allah. Apakah tersenyum bagi diri kita sendiri begitu mahal, manakala kerap memikul beban hidup yang berat? Apakah tersenyum kepada orang yang membutuhkan cinta itu sangat sulit karena takut cinta disalahpahami menjadi benci? Mudah-mudahan BENCI berbalik menjadi BENAR-BENAR CINTA kepada Allah, sesama dan diri sendiri.
Penulis : Barnabas Ratuwalu - Tim Kontributor Kolom Katakese
Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa
@parokicikarang 1 Mei – Bulan Maria Dimulai. Ayo Kita Sambut Bunda dengan Kasih! #BulanMaria #1Mei #DoaRosario #KatolikIndonesia #BundaMaria #DevosiMaria ♬ original sound - Paroki Ibu Teresa Cikarang <