Minggu Palma Memasuki Kisah Sengsara Tuhan “Kemanusiaan-Nya Taat Kepada Allah”

Penginjil Lukas menyodorkan pada kita Kisah Sengsara Tuhan (dalam Minggu Palma ini). Injil Lukas berbeda dengan injil-injil yang lain. Kita membaca dan mendalami warta Injil-Injil, Yesus itu dia yang patut diimani (Markus), keikhlasannya itulah kebesarannya (Matius), dalam ujud mempersaksikan penderitaan manusia dihadapan Tuhan Bapanya (Lukas), dan inilah kekuatan yang dibagikannya kepada umat manusia (Yohanes).

Injil-Injil memuat narasi kesaksian mengenai siapa dia yang menjalani sengsara sampai mati di salib itu. “Kisah tragis manusia tak berdosa itu (Yesus) disampaikan kepada orang banyak bukan agar orang terharu dan meratapinya, melainkan untuk membuat orang makin peka menyadari sampai di mana kekuatan-kekuatan jahat dapat memerosotkan kemanusiaan. Juga untuk mempersaksikan bahwa Yang Ilahi tidak bakal kalah atau meninggalkan manusia sendirian. Inilah kabar baik bagi semua orang.”

Bagaimana Kisah Sengsara yang dibacakan dalam Minggu Palma kali ini diambil dari Injil Lukas 22:14-23:56. Pada saat terakhir di kayu salib, seperti dicatat Lukas, Yesus berseru nyaring “Ya Bapa ke dalam tangan-Mu kuserahkan nyawaku!” (Luk 23:46). Tampil gambaran Yesus yang tabah menanggung sengsara sampai mati disalib mempertaruhkan dirinya bagi kemanusiaan di hadapan Tuhan; sebagai Bapa itu. Singkatnya, dalam Kisah
Sengsara Injil Lukas, Yesus itu martir demi semua orang. Kisah Sengsara menurut Markus lebih menampilkan Yesus sebagai tokoh yang patut dipercaya karena ia datang khusus diutus Tuhan untuk menghadirkan-Nya kembali di tengah-tengah manusia. Matius memberi penekanan lain. Ia membuat pembaca Kisah Sengsara yang ditulisnya menyadari kebesaran Yesus dalam menjalani penderitaannya. Yohanes lain lagi. Ia mengusahakan agar pem baca Injilnya ikut serta dalam kekuatan batin orang yang percaya bahwa Yang Ilahi itu ialah Bapa yang Maha Rahim.

Agaknya gagasan martir menyeramkan. Bagaimana bicara perkara ini tanpa membuat orang berpikir kesana? Inilah yang agaknya mau dikatakan oleh Lukas itu. Jangan membaca kisah itu sebagai ajakan meratapi, tetapi sebagai Kabar Gembira. Keterangannya begini. Dalam Injil, khususnya Lukas, penderitaan dan wafat Yesus itu kesaksian manusia bagi Tuhan, bukan bagi manusia meski dijalankan demi seluruh umat manusia. Orang boleh berharap kesaksian itu diterima Tuhan. Dan kebangkitannya itu kesaksian Tuhan bagi manusia, penegasan bahwa harapan manusia terpenuhi. Karena itu tak ada alasan untuk meratapi penderitaan Yesus. Yang ada ialah alasan untuk mempercayainya sebagai Kabar Gembira bagi semua orang.

Manusia bisa dan sepatutnya solider akan penderitaan sesama. Namun warta Kisah Sengsara ialah warta Injili. Penderitaan dan wafat Yesus itu bernilai karena ia menunjukkan kepada Tuhan betapa manusia tidak bisa lagi dikenali sebagai manusia karena terlalu dikuasai kekerasan. Penderitaan Yesus membuat Tuhan tak bisa ingkar melihat kemanusiaan. Tahankah Engkau melihat ini semua, sebagai Bapa umat manusia?  Masihkah jauhkah Engkau?  Atau, mengutip kata-kata Yesus di salib “Eloi, eloi, lama sabakhtani?” Dan jawaban terdengar dalam peristiwa kebangkitan. Yesus yang bangkit itu Sabda Tuhan kepada manusia. Orang dapat mengenali kehadiranNya  “Ia itu Tuhan!”.

Dalam penderitaan manusia yang terdalam  rasa takut, kesepian, ketidakadilan, penghinaan dan kematian  sering muncul pertanyaan dimanakah Allah? Dalam kisah sengsara menurut injil Lukas kita menemukan jawaban yang mengejutkan: Allah hadir dalam pribadi Yesus Kristus, yang memikul semua itu secara nyata dan penuh ketaatan. Yesus tidak menghindari penderitaan, tapi menghadapinya dengan penyerahan total kepada Bapa. Disinilah kita melihat dalam kisah sengsara ketaatan Yesus yang menyempurnakan kemanusiaan.

Kalimat terakhir Yesus menurut Lukas “Ya Bapak ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Luk 23:46). Ini bukan sekedar ungkapan iman, tapi penyerahan seluruh kemanusiaan-Nya kepada Allah. Penyerahan itu juga telah ditampakan pengalamanNya dalam bagaimana Yesus menahan derita-luka, tangis, ketakutan dan mempersembahkan semuanya itu kepada Allah dengan taat dan tulus. Dengan carademikian Yesus mau meyucikan seluruh eksistensi manusia  bahkan yang paling gelap dan menyakitkan sekalipun.

Disisi lain Yesus memperlihatkan ketaatan sampai akhir merupakan ekspresi tertinggi dari seorang manusia yang hidup sepenuhnya sesuai kehendak Allah. Tindakan ini memperlihatkan bagi kita Yesus hadir sebagai manusia sejati, bukan hanya untuk menunjukan siapa Allah itu tetapi juga untuk menunjukan siapa manusia seharusnya. Dan Yesus melakukannya bukan dengan kuasa spektakuler, melainkan dengan ketaatan.

Bagaimana “kisah sengsara kita”? Salibku bukan terbuat dari kayu. Dalam hidup sehari-hari salib bisa hadir dalam bentuk peristiwa, hubungan, kehilangan, ketidakpastian, atau bahkan diri sendiri. Mungkin aku memanggul salib itu tanpa sadar. Bukan karena aku ingin, tapi karena hidup menaruhnya di pundakku. Namun, jika Yesus memanggul salib dengan rela, bisakah aku juga mulai menerima salibku bukan sebagai beban tapi sebagai ketaatan panggilan untuk bertumbuh.

Suara Tuhan sering kali paling jelas justru di tengah keheningan luka. Ditempat paling dalam dan sunyi, disitulah kasih-Nya menyentuh hati yang rapuh. Jika kita berhenti melawan penderitaan dan taat; mulai mengijinkannya membawa kita pada Tuhan, kita akan menemukan salib menjadi altar perjumpaan.

Ch Kristiono Puspo SJ


Post Terkait

Comments