Hidup Yang Tidak Pernah Direfleksikan, Tidak Layak untuk Dihidupi Sebuah Refleksi Kecil Mengatasi Godaan

Seorang anak Sekolah Dasar bertanya pada mamanya “Adek dalam masa Pra Paskah ini mau pantang apa ya Ma?”. “Lha kamu mau pantang apa dek?” sahut mamanya. “hmmmm… pantang apa ya?” si adek berpikir sebentar. Lalu spontan berkata “oh… adek tahu ma, “pantang belajar ya ma!”. “hushhhh, ngawur kamu dek…, masak pantang belajar?, nanti kalo kamu ga naik kelas gimana?”. “iya… iya ma, adek tahu kok, hanya bercanda, hehehehe”, sahut si adek sambil tersenyum.

Perbincangan jeda beberapa saat. Kemudian si adek berkata “adek mau pantang main game deh…main gamenya hanya Sabtu Minggu aja ya ma”. Mamanya menoleh pada si adek sambil meletakan handphone-nya dan berkata “pinter deh kamu dek… tapi hmmmm… jangan seperti tahun lalu ya dek. Tahun lalu kamu bilang mau pantang jajan, baru sehari aja pantang sudah lupa dan jajan banyak!” dan “terus kamu bilang pantangnya berubah jadi pantang ga ngambek, terus belum ada sehari kamu udah ngambek; marah-marah karena makanan ga sesuai dengan seleramu. Kok pantang berubah-berubah tiap hari, gimana dong?”, sahut mamanya dengan nada santai. “Pantang itu selama sebulan ga boleh berubah-ubah, seperti angin bertiup aja hahahaha”, imbuh mamanya dengan nada reflektif. Si adek terdiam, sambil mengingat kejadian Pra Paskah tahun lalu. “iya ya ma… hehehe”, sahut si adek sambil cekikikan mengingat peristiwa lucu – pantang yang berubah-ubah tiap hari - Pra Paskah tahun lalu. “Tapi…adek beneran lho ma, mau pantang main game, dan hanya main game sabtu-minggu aja ya ma”, lanjut si adek menyakinkan mamanya. Mamanya bertanya dengan penuh perhatian “memang kenapa adek mau pantang itu?”. “Supaya nilai adek lebih baik ma!” sahut adek dengan semangat 45. “Amin, amin dan aminnn”, sahut mamanya.

Perbicangan kecil yang sangat reflektif. Walau mungkin perbincangan itu tidak disadari – oleh si adek dan mamanya – sebuah refleksi yang dalam. Inilah refleksi yang secara manusiawi: ada ingatan (head); pengalaman-pengalaman masa  lalu, ada budi-hati (heart); mencari kehendak Allah, juga mencoba-menimbang-nimbang dan ada kehendak; kemauan dan tujuan untuk menjadi lebih baik (hand). Kita pasti punya pengalaman-pengalaman kecil seperti itu; pengalaman reflektif perjumpaan. Dan pengalaman-pengalaman inilah yang – sadar atau tidak – membentuk kita. Pengalaman-pengalaman membentuk kesadaran baru yang membiarkan kita menjadi semakin lebih baik. Mungkin kita sering berpikir seandainya Allah mengabulkan doa-doaku atau permohonanku, itulah pengalaman dekat dengan Allah. Padahal Allah juga hadir lewat pengalaman-pengalaman kecil reflektif kita. Sering kita mendengar bahwa saya merasa Allah jauh dari diriku. Rasa itu (niscaya) muncul karena kita ingin menurunkan Allah ke dunia dan hanya untuk mengabulkan doa-doa kita. Repot sekali menjadi Allah yak.. kasihan. Dan kita menghidupi dan mengipasi pemikiran itu.

 Allah memberi kita daya; ingat, hati (kemerdekaan) dan kehendak. Ingat lagu “Ambillah Ya Tuhan?”. Lagunya ini:

Ambillah Tuhan kemerdekaanku Dan kehendak serta pikiranku
T'rimalah Tuhan yang ada padakuGunakanlah menurut jasaku
Hanya rahmat dan kasih dari-Mu Yang kumohon menjadi hartaku
Hanya rahmat dan kasih dari-Mu Kumohon menjadi hartaku

Lagu ini menurut refleksiku, menegaskan bahwa kita manusia adalah milik Allah. Dan Allah memberikan dayadaya (head, heart dan hand) yang sangat memungkinkan kita untuk berefleksi; memahami Allah yang berkarya dalam hidupku day to day. “Sepakat ndak?”, imbuh aku. “kalo ga sepakat silahkan direfleksikan, hehehehe”, kataku dengan nada santai. Aku lanjutkan ya… Bisa jadi (niscaya) pintu perjumpaan dengan Allah adalah dengan hidup yang direfleksikan. Kita bisa menemukan Allah dalam segala dan segala dalam Allah.

Refleksi itu juga ada dalam nada nuansa bacaan Injil yang kita baca dan amati pada Minggu Prapaskah yang pertama ini; Matius 4: 1-11; tentang Pencobaan Di Padang Gurun. Yesus adalah manusia yang selalu dicobai. Tapi Yesus dapat mengatasi godaan-godaan itu. Mengapa? karena refleksinya yang dalam. 

Kita lihat sejenak jawaban Yesus pada setan-setan itu;

1. Bagaimana Yesus diminta untuk merubah batu menjadi roti. Jawaban Yesus “ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Mat. 4:4).

2. Setan meminta Yesus untuk loncat dari atap bait Allah. Yesus menjawab “ada tertulis: janganlah mencobai Tuhan Allahmu” (Mat. 4:7).

3. Setan akan memberi Yesus kekuasaan  jika menyembah para setan. Jawaban Yesus: “enyahlah iblis! Sebab ada tertulis: engkau harus menyembah Tuhan Allahmu…” (Mat. 4:10).

Jawaban-jawaban Yesus sangat reflektif. Refleksi Yesus mau membawa setan selalu mencari kehendak Allah; BapaNya. Bisa dibayangkan bila Yesus tidak reflektif? Sangat mungkin apa yang ditawarkan atau godaan para setan gentayangan itu akan diambilnya; lalu keselamatan tidak akan pernah terjadi. “Biarlah cawan ini berlalu bukan karena kehendakku tapi karena kehendak-Mu” kata Yesus sebelum masuk dalam “dunia” penderitaan.

Menambah ingatan kita akan bagaimana Yesus tetap konsisten berefleksi untuk mencari kehendak Allah dalam penghujung hidupnya. Kembali ke Injil minggu ini, pada bagian akhir menjadi penting: “sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu dan hanya kepada Dia sajalah engkah berbakti!” lalu iblis meninggalkan Yesus dan lihatlah, malaikat-malaikat datang melayani Dia (Mat. 4: 10-11). Kalimat reflektif akhir Yesus ini sangat powerful. Bahwa Yesus mengajak setan berefleksi. Kataku “Yesus memang keren banget deh”. Setan yang menggodanya diajak refleksi tentang siapa diri para setan-setan gentayangan itu. Para setan ga mau diajak refleksi dan kabuuuuuuurrrrrrrrrr; imajinasiku para setan kabur sambil menutup kuping dan berkata “panasssssss!”. Dasar setan… hehehe.

Aku menduga kata “refleksi” tidak ada dalam kamus per-setan-an apalagi diajarkan dalam persekolahan mereka. Tapi kita manusia punya kamus kata “refleksi” dalam berbagai bahasa dan diajarkan di sekolah, rumah, dan paroki kita. Refleksi dengan menggunakan daya-daya inderawi kita (ingatan, budi kemerdekaan dan kehendak) untuk selalu dekat dengan Allah yang menciptakan kita. Inilah yang membedakan kita dengan para setan itu. Dan kita bukan setan. Tapi kalo kita ga refleksi dan kabur dari refleksi hidup kita; kita bisa menjadi… (hehehe).

Oleh karena itu, judul “Hidup yang Tidak Direfleksikan, Tidak Layak untuk Dihidupi” merupakan sentilan kesadaran (kembali) bahwa kita (tahu, mau dan mampu) mengatasi juga godaan hidup (yang dibekingi oleh setan) kita; dan membawa kita merdeka menjadi Anak-anak Allah. Refleksi adalah upaya untuk menemukan “Allah dalam segala dan segala dalam Allah”.

“Hidup yang Tidak direfleksikan, Tidak Layak untuk Dihidupi”

Penulis : Ch. Kristiono Puspo, SJ

Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa


Post Terkait

Comments