Hari Minggu, 26 Mei 2024, menjadi hari istimewa dalam lingkaran liturgi gereja kita. Betapa tidak! Lingkaran liturgi setelah masa Paskah menempatkan dua Minggu Istimewa setelah Hari Raya Pentakosta. Maka Hari Minggu setelah Pentakosta, Gereja merayakan Hari Raya Tri Tunggal Mahakudus, di minggu kedua Gereja merayakan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus. Inilah dasar atau intisari sekaligus bekal dan kekuatan di jalan kehidupan kita sebagai umat kristiani. Kita merayakan hakekat misteri iman kita, SATU Allah – TIGA Pribadi, yang tidak berdiam atau tinggal jauh terpisah dari umat-Nya, melainkan telah memberikan Diri-Nya (Hari Raya Tubuh dan Daarah Kristus) sebagai kekuatan di ‘sepanjang jalan hidup’, sekaligus menyemangati dan memampukan kita dengan Roh Kudus-Nya untuk hidup dan berkarya terus di “Rumah Kerjaan-ku” maupun ketika beraktivitas dan kerja di rumahhunianku (baca: Kerja Rumahan-ku). Perayaan liturgis-gerejawi ini menyiapkan kita semua-segenap umat gerejawi untuk menjalani hidup konkrit sesuai jabatan dan tanggung jawab masing-masing. Ya... setelah Hari Raya Pentakosta kita memasuki masa biasa dan didasari dan dijiwai oleh kedua Pesta Gerejawi istimewa ini. Gereja merayakan hakekat-kehidupannya yang tidak terselami, dibimbing oleh-Nya untuk berkarya-mewartakan Kerajaan-Nya bagi dunia dan manusia.
Meng-HIDUP-kan Spiritualitas Trinitarian dalam KeseharianSpiritualitas Tri Tunggal Mahakudus kiranya menjadi dinamika hidup gereja komunal maupun personal oleh masing-masing anggota dalam komunitasnya mulai dari keluarga inti, ayah, ibu dan anak, keluarga sub-sel di lingkungan, keluarga parokial dan keluargaa sosial di lingkungan tempat tinggal masing-masing. Bagaimana caranya menghidupkan spiritualitas Trinitarian dalam keseharian kita? Ada tiga aspek utama: hadir, mendengar, dan mengikuti, yang kiranya dapat membantu kita “hidup bersama” Allah Tri Tunggal dalam keseharian kita. Gereja, yakni masing-masing kita, ataupun dalam komunitas kita internal maupun eksternal dipanggil untuk mengalami kehadiran Allah, mendengarkan Sabda-Nya, dan mengikuti kehendak-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut tentang masing-masing aspek, beserta referensi teologis biblis yang mendukungnya.
“Hadir” atau ada bersama, ada dalam, tidak sendirian. Tritunggal Mahakudus adalah misteri sentral kehidupan Kristiani kita. Allah telah menyatakan diri-Nya sebagai Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Misteri ini tidak dapat dipahami oleh akal manusia secara penuh, tetapi diterima melalui wahyu dan iman (bdk. KGK 232-237). Sejak awal pembaptisan, kita telah bersatu dengan Bapa, Putera dan Roh Kudus.
“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus" (Mat. 28:19). Kita menghayati dan menyegarkan kehadiran ini setiap kali kita merayakan ekaristi maupun hidup sakramental dan praktik sakramentali lainnya. Doa rutin pribadi, keluarga, lingkungan dan di gereja mengingatkan kita akan hakekat hidup yang kita miliki. Hidup dalam Tri Tunggal menyadarkan kita akan jalan dan praktik hidup yang benar. "Aku akan meminta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu." (Yoh. 14:16-17). "Tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu." (Yoh. 14:26). Spiritualitas Trinitarian ini juga mengenai hidup kita yang ekologis, dengan segala yang hidup dan yang ada. “Berfirmanlah Allah: 'Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi" (Kej. 1:26). Kejadian 2:15 mencatat, "TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu".
“Mendengarkan” harus menjadi sisi lain dari ‘Hidup Trinitarian’ seperti ditunjukkan oleh Yesus sendiri dengan BapaNya. Yesus, sebagai Anak Allah yang menjelma, selalu mendengarkan dan taat kepada kehendak Bapa-Nya, baik dalam ajaran-Nya, tindakan-Nya, maupun pengorbanan-Nya di kayu salib. Yesus mendengarkan dan taat kepada kehendak Bapa-Nya. Injil Matius (26:39) mencatat, "Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: 'Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki”. Di tempat lain, Yesus berkata, "Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan apa yang Aku dengar, dan penghakiman-Ku adil, sebab Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku" (Yoh. 5:30). Demikianpun semangat Trinitarian yang kita miliki senantiasa mendorong kita untuk dekat dengan Kristus, mendengarkan kehendak-Nya sebagaimana dicontohkan oleh Bunda Maria sendiri, membuka hatinya mendengarkan Sabda Tuhan keipadanya. Kita belajar menjadi putera-puteri Maria, mendengarkan suara dan kehendak Tuhan dan menyatakan kesediaan kita, “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut kehendak-Mu” (Luk. 1:38). Katekismus Gereja Katolik (KGK) 260 menandaskan: "Tujuan akhir seluruh ekonomi ilahi adalah untuk mempersatukan seluruh ciptaan dengan Tritunggal. Oleh karena itu, Kristus, yang diutus oleh Bapa, dalam kesatuan dengan Roh Kudus, menunjukkan cara manusia seharusnya mendengarkan Bapa."
“Mengikuti” kehendak Allah dalam kehidupan praktis tentu saja menjadi konsekwensi hidup kristiani yang Trinitarian, baik ritual dan seremonial liturgis maupun dalam pelayanan dan kasih kepada orang lain. Kata Yesus, “Makanan-Ku ialah melaksanakan kehendak Dia yang mengutus Aku” (Yoh. 4:34-36). Sama seperti Yesus dengan Bapa-Nya, kepada kitapun Yesus berpesan, “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku” (Yoh. 14:15), atau seperti diingatkan oleh Rasul Yakobus dalam suratnya ketika menulis (1:22), “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri”. Maka semangat Trinitrian memungkinkan kita untuk menempatkan diri kita secara benar dalam relasi kepad Tuhan maupun kepada sesama dan realitas yang ada. Siapakah sesama kita...? Yesus menegaskan, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40). Aksi hidup sosial-karitatif menunjukkan iman yang hidup seperti ditegaskan oleh Yakobus sendiri dalam suratnya, “Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan adalah mati” (Yak. 2:26). Semangat Trinitarian menjadikan kita dekat dengan Yesus menjadi ‘keluarga dan saudara-saudari-Nya’. Kata Yesus, “Barang siapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku” (Mark. 3:35).
Keseharian yang Trinitarian membuat hidup dan aktivitasku “Hijau”Lingkaran liturgi gereja menghatar kita memasuki masa biasa, dilambangkan dengan warna liturgi ‘hijau’. Inilah realitas hidup konkrit di “rumah kerjaanku” maupun di “kerja rumahanku”. Ada dinamika hidup yang dialami, jatuh-bangun, penuh pergumulan, ada pertumbuhan dan kesuburan. Melalui setiap aktivitas rumahan, ataupun bentuk kerja dan tugas sesuai profesi masing-masing, kita semakin percaya akan karunia-karunia yang Tuhan berikan kepada kita untuk melengkapi hidup dan kerja kita. Kita percaya, seperti ditulis oleh Santu Thomas Aquinas, “Rahmat adikodrati tidak menekan kodrat kemanusiaan kita, tetapi mengangkatnya” (Thomas Aquinas, Summa Theologiae, 1 q.1 a & c). Rahmat Ilahi Tuhan membuat hidup dan karya kita menghasilkan buahbuah yang baik bagi orang lain. Kita melaksanakan hidup dan kerja sebagai jalan untuk menunjukkan kasih dan penyelenggaraan Tuhan melaui diri kita kepada orang banyak. Maka hidup dan karya yang “hijau” memperlihatkan optimisme dan semangat yang berkobar-kobar untuk menjadi alat dan saksinya. Kata Yesus, "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. …... Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga." (Mat. 5:13-16). Hidup yang “hijau” menunjukkan hidup melimpah dari Tuhan. Kitab Mazmur menulis (Mazmur 23:2, ) "Ia membiarkan aku berbaring di padang yang hijau." Warna hijau juga bisa dikaitkan dengan buah-buahan Roh (Galatia 5:22-23), di mana iman yang kokoh menghasilkan buahbuah yang baik, yakni kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Meski tugas dan kerja kita sekecil dan sesederhana apapun, ketika dilaksanakan dengan cinta yang besar pasti berbuah melimpah. “Aku hanyalah pencil kecil di Tangan Tuhan untuk menuliskan Cinta-Nya” (Santa Teresa dari Kalkuta.
Penulis : Bruno Rumyaru - Tim Kontributor Kolom Katakese
Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa