HANAMI…
Liputan6.com, Jakarta - Warganet Indonesia dihebohkan dengan sebuah video yang menampilkan rombongan diduga turis Indonesia merusak bunga sakura di Jepang. Video yang viral di media sosial itu merekam aksi seorang pria dari rombongan menggoyang-goyangkan dahan tanaman tersebut hingga bunga-bunganya rontok dan berjatuhan. "Yah jatuh," ucap si perekam video yang juga bagian dari rombongan turis vandal tersebut sambil tertawa cekikikan. Tak hanya warganet yang meradang melihat video tersebut, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) ikut menanggapi kejadian terebut.
Beberapa waktu terakhir ini, berita di atas cukup menyita perhatian masyarakat kita terutama di media social. Tindakan dari oknum yang diduga adalah turis dari Indonesia ini cukup memicu reaksi negatif dan kecaman dari banyak pihak. Tindakan yang dilakukan oknum turis ini dianggap merusak dan memalukan, menyinggung perasaaan masyarakat Jepang.
Sakura sendiri memang memiliki tempat yang istimewa bagi masyarakat Jepang. Awalnya, sakura digunakan masyarakat Jepang untuk meramal waktu panen sekaligus menentukan musim menanam padi. Mereka percaya bahwa ada kekuatan istimewa di dalam pohon sakura. Karena itulah, masyarakat Jepang pada jaman dulu kerap memberikan persembahan. Masyarakat Jepang akan berkumpul bersama keluarga, teman atau kolega untuk menikmati mekarnya bunga sakura sambil menikmati makanan dan minuman yang dibawa.
Acara berkumpul Bersama dan menikmati mekarnya bunga Sakura ini disebut HANAMI. Secara harafiah, hanami atau ohanami berarti “melihat bunga”. Di Jepang, hanami juga dikenal sebagai lambang kebahagiaan dan tibanya musim semi. Biasanya, tradisi ini berlangsung dari akhir bulan Februari sampai awal bulan Mei, tergantung waktu mekarnya bunga sakura yang berbeda-beda di setiap daerah. Hanami memiliki makna yang sangat mendalam. Bunga yang mekar dan berguguran dimaknai sebagai sebuah siklus kehidupan. Karena itulah selain untuk berpesta, hanami juga menjadi momen untuk merefleksikan diri .
IKLIM sebagai Kebaikan Bersama…
Ensiklik “Laudato Si” dari Paus Fransiskus yang dikeluarkan pada 24 Mei 2015, berbicara mengenai Pertobatan Ekologis. Bapa Paus dalam ensiklik ini memulai dengan menunjukkan kondisi dan situasi yang terjadi di dunia saat ini terutama berkenaan dengan kondisi alam dan lingkungan hidup manusia. Bapa Paus mengungkapkan dengan halus namun tegas, bagaimana Gereja begitu prihatin dengan perkembangan kondisi alam dan Lingkungan Hidup yang terjadi.
Saudari ini (istilah untuk menyebut Ibu Petiwi/Alam) sekarang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena penggunaan dan penyalahgunaan kita yang tidak bertanggung jawab atas kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. (Laudato Si art.2)
Keprihatinan yang diungkapkan Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si ini pun senada dengan apa yang disampaikan oleh Paus Yohanes XXIII dalam Ensiklik Pacem in Terris yang diterbitkan pada 11 April 1963. Dalam Ensiklik
Pacem in Terris ini, Paus Yohanes XXIII menyerukan pentingnya kesadaran bahwa dunia ini adalah Rumah Kita Bersama. Seruan ini muncul menanggapi situasi krisis ancaman perang nuklir yang terjadi di dunia. Paus Yohanes menyerukan Perdamaian di dunia, bahwa kita semua seluruh mahkluk hendaknya Hidup berdampingan dengan damai di “Rumah Kita” Bersama ini. Tindakan-tindakan, dalam hal ini perang nuklir, hanya akan membawa kerugian Bersama karena merusak rumah kita Bersama.
Paus Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Redemptor Hominis yang diterbitkan pada 4 Maret 1979 pun mengungkapkan hal yang senada. Bahkan Paus Yohanes Paulus II dalam suratnya ini lebih keras lagi mengungkapkan: manusia tampaknya sering "tidak melihat makna lain dalam lingkungan alam daripada apa yang berguna untuk segera dipakai dan dikonsumsi”. Paus Yohanes Paulus II mencatat bahwa hampir tak ada usaha untuk "mengamankan kondisi-kondisi moril lingkungan manusiawi”. Penghancuran lingkungan manusia merupakan perkara sangat berat, tidak hanya karena Allah telah mempercayakan dunia kepada manusia, tetapi karena hidup manusia itu sendiri merupakan anugerah yang harus dilindungi dari berbagai bentuk kemerosotan.
Keprihatinan akan Kondisi Alam dan Lingkungan Hidup serta seruan akan Pertobatan Ekologis, telah dikumandangkan oleh Gereja sejak lama. Bukan hanya sebatas keprihatinan, Bunda Gereja melalui para Paus senantiasa menyerukan Ajakan-ajakan dan juga Ajaran-ajaran yang bertujuan untuk menyadarkan seluruh umat manusia akan pentingnya kesadaran Ekologis sebagai bentuk sikap dan semangat mengemban perutusan awali Penciptaan yakni menguasai dan mengolah Dunia dan seisinya untuk Kebaikan Bersama.
Tantangan mendesak untuk melindungi rumah kita bersama mencakup kepedulian untuk menyatukan seluruh keluarga manusia guna mencari suatu pengembangan berkelanjutan dan terpadu, karena kita tahu bahwa segala sesuatu bisa berubah. Sang Pencipta tidak meninggalkan kita; ia tidak pernah mengabaikan rencana kasih-Nya atau menyesal telah menciptakan kita. Umat manusia masih memiliki kemampuan untuk bekerja sama dalam membangun rumah kita bersama. (Laudato Si art. 13)
Iklim merupakan kebaikan bersama, milik semua dan untuk semua. Secara keseluruhan Iklim merupakan suatu system yang terjalin dengan rumit dan saling berkaitan dalam kehidupan dan dunia kita. Saat ini kita mengalami perubahan Iklim yang cukup ekstrem. Bagaimana para ahli menemukan naiknya suhu Bumi (Pemanasan Global) telah mengakibatkan mencairnya es di belahan Kutub Utara dan Selatan. Fenomena ini mengakibatkan naiknya permukaan air laut. Dan tentu saja banyak hal terpengaruh dengan gejala alam ini.
Banyak hal yang mempengaruhi gejala Pemanasan Global ini, semakin tingginya polusi udara, berkurangnya paru-paru dunia, deforestasi, dan lain sebagainya. Dan sebagian besar dari pengaruh tersebut berada dalam lingkup kuasa manusia. Kemajuan manusia dalam bidang teknologi, industry dan social ekonomi mempunyai dampak negative pada alam apabila tidak didasari kesadaran akan penghormatan kepada alam.
Pelestarian alam adalah bagian dari suatu gaya hidup yang mencakup kemampuan untuk hidup bersama dan dalam persekutuan. (Laudato Si art. 228)
“Jalan Kecil Cinta”
Dunia ini adalah Rumah Kita Bersama. Menjadi tanggung jawab kita Bersama untuk menjaga dan melestarikannya. Sebagai bagian dari “penghuni” Rumah Bersama ini, kita dituntut untuk juga bergerak Bersama untuk menjaganya. Tuntutan ini melekat dalam diri kita sebagai sebuah tugas Perutusan sebagai mahkluk Ciptaan yang diberi kuasa oleh Sang Pencipta untuk menguasai dan mengelola Alam. (bdk. Kej I)
Apa yang bisa kita lakukan? Santa Teresia dari Lisieux mengajak kita untuk mempraktikkan “jalan kecil cinta”, tidak melewatkan kesempatan untuk sebuah kata lembut, untuk sebuah senyuman, untuk suatu gerakan kecil apa pun yang menebarkan perdamaian dan persahabatan. Santa Teresia menekankan tindakan sederhana dengan penuh cinta akan dapat menjadi “Jalan Kecil Cinta” Kita untuk menjaga Rumah Kita Bersama.
Hanami memang bukan budaya kita, namun belajar dari Tradisi Hanami masyarakat Jepang ini akan membawa kita pada satu sikap dan semangat untuk mencintai alam. Hanami yang secara harafiah berarti memandang bunga yang mekar, menjadi gambaran sederhana bagaimana cinta akan alam bisa diwujudkan. Memandang, menikmati dan melestarikan keindahan alam bisa menjadi “Jalan Kecil Cinta” kita dalam merawat Rumah Bersama kita.
Seringkali keindahan hanya menjadi obyek untuk dinikmati. Namun seringkali kita lupa bahwa keindahan tidak berhenti pada untuk dinikmati saja, di dalamnya juga terkandung suatu panggilan untuk melestarikan dan menjaga agar keindahan itu terjaga untuk selalu dinikmati.
Sumber :1. LAUDATO SI, Surat Apostolik Bapa Suci Paus Fransiskus, 24 Mei 2015, terj. DEPARTEMEN DOKUMENTASI DAN PENERANGAN KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA., Jakarta, September 2016.2. PACEM IN TERRIS, Surat Apostolik Bapa Suci Paus Yohanes XXIII, 11 April 19633. REDEMTOR HOMINIS, Surat Apostolik Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II, 04 Maret 19794. https://itoen-ultrajaya.co.id/mengenal-budaya-jepang-hanami5. https://www.liputan6.com/lifestyle/read/5574337/turis-indonesia-diduga-rusak-bungasakura-dan-makan-lesehan-dibandara-changi-kemenparekrafsinggung-wisman-nakal-di-bali?page=4
Penulis : FB. Sri Pamungkas - Tim Kontributor Kolom Katakese