Berubah atau Punah

Sejak 1964, International Union for Conservation of Nature (IUCN) membuat “daftar merah” untuk spesies terancam punah dan mulai mengumpulkan data dari seluruh dunia, yang menjadi basis data global unggulan. Basis data ini Digunakan untuk memetakan spesies terancam punah dan alat penting bagi kebijakan konservasi.

Tahun 2019, PBB melaporkan mengenai krisis keanekaragaman Hayati. Dalam lapporan tersebut disebutkan bahwa diperkirakan adanya ancaman kepunahan terhadap lebih dari satu juta spesies hewan dan tumbuhan, baik yang sudah terdata ataupun yang belum.

Kehilangan habitat—yang didorong oleh eskpansi manusia untuk pengembangan lahan perumahan, pertanian, atau peternakan—menjadi ancaman terbesar bagi spesies, disusul oleh perburuan dan penangkapan ilegal. Semua ancaman tersebut, langsung atau tidak langsung, membuat spesies hewan dan tanaman sulit bertahan. Sebagian besar dapat  beradaptasi; sisanya lenyap.

Studi terbaru yang dipublikasikan pada Proceedings of the National Academy of Sciences mengungkapkan bahwa Bumi saat ini memang sedang mengalami kepunahan massal keenam dengan tingkat kehilangan satwa liar dalam jumlah banyak yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak musnahnya dinosaurus 66 juta tahun lalu. Lima peristiwa kepunahan massal di Bumi sebelumnya disebabkan oleh kekuatan astronomis atau geologis, seperti perubahan iklim akibat erupsi gunung berapi atau tabrakan meteor. Namun, kepunahan massal yang terjadi saat ini hampir semuanya disebabkan oleh aktivitas manusia.

– Nationalgeographic.co.id –

 

Artikel dari National Geograhic diatas dapat menjadi bahan permenungan kita bersama. Betapa kita – spesies manusia, yang sering membanggakan diri sebagai spesies dengan tingkat kesempurnaan tertinggi di bumi ini, justru menjadi penyebab utama dari proses kepunahan dari spesies lain yang sebenarnya punya hak hidup yang sama di muka bumi ini. Proses evolusi perkembangan pengetahuan dan budaya manusia ternyata memakan korban kelompok lain, yang secara proses mungkin berevolusi lebih lambat.

Pengetahuan dan budaya organisme manusia berkembang, berusaha untuk semakin menunjukkan keunggulan dan perbedaan dengan strata organisme lain yang dianggap lebih rendah. Dengan intelektualitas dan moralnya manusia berusaha membedakan dirinya dengan Mahkluk lain. Namun ternyata di satu sisi, manusia tidak bisa meninggalkan konsep hukum rimba, “Siapa yang kuat, dia yang menang dan merajai”.

Hukum rimba ini, di masa sekarang tidak hanya bersifat fisik, mereka yang kuat secara fisik akan menang. Namun dalam masyarakat kapitalis (yang sekarang mulai menjadi kecenderungan dalam masyarakat kita), mereka yang kuat secara finansial akan menjadi pemenang dan penguasa. Kelompok ini mempunyai kecenderungan untuk memperkuat dirinya, memperkembangkan kekuatannya dan entah disadari atau tidak cenderung mengalahkan sebanyak mungkin sebagai bentuk penguatan dan eksistensi diri.

Situasi seperti ini menjadi keprihatinan besar Gereja Katolik. Hal ini tertuang dalam Ajaran Sosial Gereja. Dalam ensiklik Laudato Si, Paus Fransiskus menggarisbawahi cara hidup manusia modern memuaskan diri dengan mengonsumsi berbagai macam barang, paradigma tekno-ekonomi memben tuk perilaku kompulsif manusia, mengatasi ketidaknyamanan dengan mengkonsumsi. Tindakan ini justru semakin membentuk manusia terobsesi memenuhi keinginan mengumpulkan berbagai macam barang.

Paus Fransiskus mengingatkan kita bahwa gaya hidup konsumtif dan sistem ekonomi tidak sehat telah membelenggu dunia. Namun beliau juga meyakini bahwa manusia mampu bangkit, memilih yang terbaik dan membaharui diri. Manusia harus mengubah arah dan cara hidup, memulihkan kondisi alam. Paus menegaskan pentingnya membudayakan kebiasaan baik. Pertobatan ekologis merupakan sebuah keharusan untuk dapat menyelamatkan dunia ini dari krisis ekologis.

Pertobatan tersebut menyangkut perubahan perspektif, pola pikir dan mentalitas manusia. Gereja sebagai institusi rohani mempunyai peran membangun perspektif dan mentalitas umat agar berani melawan kesalahan perspektif terhadap dunia, yang cenderung mengarah pada antroposentrisme dan kapitalisme. Dimana kecenderungan untuk berpusat pada diri dan tidak peduli dengan dunia di sekitarnya.

Lalu pertanyaan berikutnya adalah peran apa yang bisa kita lakukan sebagai umat? Seperti yang telah ditegaskan dalam Laudato Si, pertobatan ekologis perlu menjadi niat dan tekad bersama. Pertobatan ini, seperti yang disampaikan oleh Paus Fransiskus, berupa keberanian untuk mengubah mentalitas konsumerisme, yang dapat dimulai dengan bijak dalam bersikap lebih mempertimbangkan kebutuhan daripada keinginan. Pertobatan ekologis terwujud dalam keberanian untuk merubah perspektig dan pola pikir serta mentalitas kita untuk lebih berprioritas pada kebutuhan dan bukan pada keinginan.

Sumber ;
1. Widyaningrum, Gita Laras. Manusia, Ancaman Kepunahan Massal Keanekaragaman Hayati di Bumi”, www.nationalgeographic.co.id. Diakses pada Rabu 09 Oktober 2024.

2. Prasetyo, Yohanes Wahyu OFM. “Pendidikan dan Spiritualitas Ekologis dalam Ensiklik Laudato SI”, jpicofmindonesia.org. Diakses pada Rabu 09 Oktober 2024. 

 Penulis :  FB. Sri Pamungkas - Tim Kontributor Kolom Katakese

Gambar : Dokumentasi pribadi Warta Teresa


Post Terkait

Comments